Sunday, February 26, 2012

LORONG WAKTU

PROLOG

Tahun 2011, bisa jadi moment paling berkesan buat saya. Pada tahun itu saya melakukan banyak perjalanan di Negeri ini, bertemu berbagai macam karakter manusia dan sangat merasakan betapa kayanya bangsa ini.
Pada tahun ini pula saya merasakan dimanja oleh dunia, bagaimana tidak, saya sering menginap di hotel yang bagus, sering makan dengan makanan yang lezat dan nongkrong di café di malam hari. Yang paling menggelitik ketika saya diundang oleh staff menteri salah satu instansi pemerintah untuk presentasi, dan juga diminta presentasi oleh salah satu BUMN besar di negeri ini. Kenapa bisa seperti itu? saya juga tidak tahu.
Masih di tahun itu, saya juga merasa istimewa karena saya beberapa kali ditawarkan untuk bergabung dengan perusahaan-perusahaan. Dari perusahaan kecil sampai besar, dari swasta sampai negeri, tapi yang konyolnya, saya selalu menolaknya, bahkan diakhir tahun itu saya menolak 3 pekerjaan. Alasannya agak konyol, saya ingin belajar English di Pare, mungkin 2 – 3 bulan.
……

Bulan pertama di Pare sudah selesai, saya merasa gagal dalam mengejar target akademis di sini tapi saya bersyukur karena masih bisa merasakan kejadian yang saya pikir tidak bisa terjadi lagi. Kejadian ini saya sebut LORONG WAKTU, saya solah-olah masuk dalam waktu yang lampau. Di sini saya bisa tertawa lepas, di sini saya melihat kepolosan dan kejujuran pada diri seseorang, di sini saya melihat manusia seperti malaikat-malaikat suci yang bersinar.
Malaikat-malaikat suci yang bersinar itu adalah para guru. Mereka memberi cahaya ilmunya kepada para murid dengan metode yang berbeda dan tak biasa yang intinya agar murid cepat berkembang. Banyak muridnya yang saat ini berhasil menembus seluruh benua di planet bumi ini, saya pun tertegun memperhatikan guru-guru itu mengajar.
Pertemuaan saya dengan beberapa teman sekelas yang umurnya rata-rata masih muda karena banyak diantara mereka yang baru lulus SMA dan masih berstatus mahasiswa, membawa saya terbang ke masa lalu. Masa dimana kepolosan dan kejujuran itu menjadi nomor satu, sungguh mereka adalah manusia sebenar-benarnya manusia. Dan apa yang terjadi ketika saya ada ditengah-tengah mereka?

... DI LORONG WAKTU ...

Sebenarnya saya merasa agak konyol dengan diri sendiri tentang keputusan datang ke sini, perbedaan gaya hidup antara saya dan orang-orang di sini sungguh besar, dan perbedaan gaya hidup ini tidak saya prediksi dalam mengambil keputusan datang kesini. Hasilnya, baru sehari sampai sini saya langsung bosan, seminggu di sini langsung Homesick, dua minggu di sini langsung pengen bunuh diri (haha… lebay). Belajar tiap hari dari pagi sampai malam tanpa ada hiburan membuat saya jenuh, statis sekali hidup ini.
Untung saja saya bertemu dengan wanita-wanita centil dari Nangor, Bandung. Salah satu dari mereka (Ami) menjadi wanita pertama yang bicara dengan saya sesudah seminggu saya ikut kelas. Mereka semua suka sekali senyum gak jelas ke saya, gak taunya saya di kira artis oleh salah satu dari mereka (Puput). Di minggu ketiga saya dan restu (teman kuliah yang ikut belajar di pare) ikut karokean dengan wanita-wanita itu (Ami, Puput, Kiki, Nuyul dan winda), dan saya sering dinner dengan mereka. Karokean dan dinner bareng mereka setidaknya sudah mengurangi kebosanan saya di sini.
Wanita itu adalah mahasiswa tingkat 2 dari UNPAD jurusan teknologi pangan, mereka itu seperti rombongan anak bebek, karena mereka selalu bersama kemana-mana, dan ketika mereka pulang ke camp dari tempat belajar pasti cara naik sepeda mereka berjejer seperti bebek. Di minggu ke4, anggota bebek itu tinggal 3 karena kedua anggotanya (Nuyul dan Winda) harus pulang duluan ke nangor karena ada urusan lain.
Tidak hanya dinner dan karokean bersama mereka yang membuat saya merasa dekat dengan mereka, perjalanan ke Bali dengan mereka yang tanpa rencana itu menjadi sesuatu yang aneh. Bali yang menyimpan kenangan ketika saya masih kuliah, kini terulang lagi bersama mereka. Secara perlahan dan tidak saya sadari saya masuk dalam lorong waktu, karena kejadiannya hampir sama dan dengan cara yang samapula yaitu dengan backpackeran.

......

Sudah lebih dari dua tahun saya bekerja di Jakarta, tahun pertama bekerja di perusahaan dengan tingkat pressure sangat tinggi dan tahun kedua di perusahaan dengan pressure yang rendah. Tentu saja, perbedaan-perbedaan tetap ada, cara berfikir saya lebih serius dibanding dulu. Dan keseriusan saya hancur lebur tersapu ombak di pantai-pantai yang ada di Bali, mereka (puput, ami dan kiki) telah membuangnya dari diri saya. Dan ketika keseriusan itu tenggelam di laut, saya merasa kembali kemasa lalu yang penuh dengan warna-warni dan kepolosan (Aseek). Dengan kepolosan itu saya semakin bergairah,dan teringat akan mimpi-mimpi yang terkubur, saya ingin sekali jalan-jalan di Eropa, saya ingin sekali jalan-jalan konyol di tempat itu. Oh God… I wish I could get it …

Mereka (Ami, kiki dan Puput) adalah teman jalan yang asik, sebelum mereka jalan saya menyarankan mereka untuk menjaga kesehatan dan jangan mengeluh bila ada hal yang tidak enak. Tapi kenyataanya malah saya yang tidak bisa menjaga kesehatan, dan saya pula yang suka mengeluh (Heee… maaf ya adinda2…). Ami, wanita ini seperti batu baterai alkalin, dia kuat ngoceh apa saja dan belum bisa berhenti kecuali kecapean dan tidur. Wanita ini pernah kesembur air yang sudah masuk dalam mulut saya (hahahaaa), gara-gara saya keselek saat minum. Wanita ini agak aneh, dimalam terakhir mereka di pare saya disuruh jalan berduaan dengan puput, padahal dia wanita taplak meja loh (jilbab yang panjang melebihi dada), kata-kata yang khas keluar dari dirinya yaitu “yah… sedih deh… (sambil gerakin kepala)”. Kiki, wanita ini gayanya mirip anak pecinta alam, anaknya cuek dan pendiem. Dia kalau senyum mirip hamster lucu gitu (agak sipit-sipit gitu, tapi dia maunya sih kayak kelinci), dia gak suka galau dan ketawanya khas (sayang gak direkam, kayak tikus kejepit gituh dah). Kalau saya lagi nyanyi di karoke, dia suka ngelirk & senyum gak jelas gituh dah (pede yah gw, hehe…). Yang terakhir adalah Puput, kalau yang ini sepesial dah (senyum dulu ya), Soalnya dia mengaggumi saya sampai saya dikira artis (Haha.. bukannya kebalikan ya). Saya menjadi saksi hidup ketika dia teriak kaget (“Astagfirullah… Astagfirullah…”) gara-gara di bus ada cowo jatuh karena ketiduran,dan kepalanya si cowo itu jatuh tepat di pahanya (enak banget tu ye si cowo, udah ringtones HP-nya bikin gw gak tidur karena suaranya besar dan seperti piring pecah). Kalau karokean kayaknya dia paling bagus suaranya dibanding ami dan kiki, karena bagus suaranya maka dia paling cocok duet sama gw yang bagus juga (hahaaa….. “aseeek” kata khasnya), trusss apa lagi yaaaa… heee…

... EPILOG ...

Friendship is shadow…” kata Mis. Septin (Dafodils’s teacher), itulah pepatah yang pertama saya dengar di Pare. Mereka ada bersama kita dalam suka dan duka dalam perjalanan, namun akan menjadi bayangan di waktu tertentu. Percaya atau tidak, ada pada diri kita masing-masing. Yang jelas lorong waktu ini sulit dipercaya, kesempatan seperti ini sangat jarang bisa orang rasakan. Saya bersyukur bisa merasakannya. Bayangkan saja, selama saya kerja, saya seperti orang gila, saya pernah sebulan lembur tiap malam dan sabtu minggunya masuk. Saya sering begadang dalam bekerja, sampai saya kelelahan dan tidak mempunyai waktu untuk liburan. Pertanyaan yang selalu saya pendam yaitu apakah pekerjaan saya itu membuat kesejahteraan masyarakat? apakah itu bermanfaat buat orang banyak? atau cuma menghabis-habiskan duit rakyat? Saya ingin sekali seperti guru, pekerjaan mereka nyata untuk kemajuan bangsa. Aseeekkkk…. tuh kan bahasa gw serius lagi, berarti keseriusan yang tenggelam di laut telah menguap dan jatuh ke bumi lewat hujan dan hujannya jatuh ke kepala saya. krik krik… serius lagi deh…

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...