13 Mei 2010, Kamis sore menjelang Azan Magrib, saya beserta 9 sahabat yang merupakan teman satu jurusan di kampus, kini berada di Rano Pane. Kami bermalam di sebuah camp Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan ketinggian 2200 mdpl.
Rano dapat berarti danau, yup.. dari pandangan yang berbukit-bukit ini membentuk cekungan yang cukup luas hingga membentuk danau. Entah siapa yang mengajari para penduduk disini, mereka mampu menanam sayur-sayuran di sisi-sisi bukit yang curam. Tanah yang merupakan limpasan kandungan organik Gunung Vulkanis Semeru, serta suhu udara yang cukup dingin itu membentuk surga bagi para petani. Tiap beberapa jam saya melihat truk pengangkut sayuran melintasi jalan satu-satunya yang tersedia di sini, yang menghubungkan desa kecil ini dengan kota besar di sana, yang memerlukan waktu sekitar 3 jam.
Esoknya saya menuju Rano Kumbolo melalui jalur yang tak biasa orang-orang lalui. Karena harus mendaki melewati Gunung Ajek-Ajek (dibaca ayek-ayek), maka jalur ini dinamakan jalur ayek-ayek. Sekitar 3 jam kami berhasil melewati jalur ayek-ayek, dari sini kami sadar mengapa orang jarang melalui jalur ini. Yah, jalur ini mampu membuat betis terasa naik dan keram, karena rasanya seperti mendaki puncak gunung. Pemandangannya pun biasa saja, hanya hutan dan hutan.
Keluar dari ayek-ayek kami turun lagi untuk memasuki padang rumput yang sangat luas, sunyi dan datar. Sekitar 1,5 jam kami sampai di pos Ranu Kumbolo. Danau ini dikelilingi bukit-bukit hijau berkulit rumput, semak dan hutan. Di sinilah kami bertemu dengan para pendaki lain, namun karena Pendakian Semeru baru dibuka 2 hari yang lalu maka di Ranu Kumbolo ini tidak terlalu ramai, tak lebih dari 50 orang.
Danau atau Ranu yang tenang ini memiliki air yang sangat jernih dengan ketinggian permukaan 2400 mdpl, beberapa pendaki terlihat mengambil air untuk dimasak. Tepat di belakang Pos Ranu Kumbolo terdapat tanjakan untuk menembus jalur menuju Puncak Semeru. Tanjakan ini menjadi track sensasional karena terdapat kepercayaan bahwa bila pendaki melewati tanjakan ini tanpa berhenti dan menengok ke belakang, maka orang yang kita bayangkan akan menjadi jodoh kita. Orang-orang mengenal ini dengan sebutan TANJAKAN CINTA.
Tiba-tiba rasa pegal saat melalui jalur ayek-ayek hilang seketika dan menjadi semangat baru untuk melewati tanjakan cinta itu. Hohoooo…. Dengan emosi yang luar biasa, saya pun tak menoleh kebelakan sambil konsentrasi melewatinya. Hahaaa… sayapun berhasil… Horeeee… tapi karena seluruh energi terkuras pada tanjakan yang terlihat tidak terlalu jauh itu, maka setelah melewatinya, kaki rasanya keram… hahaa… saya sendiri merasakan keram di kedua paha. Lalu bagaimana teman saya yang lain?
Roti, susu dan minuman hangat lainnya menjadi teman kami di Ranu Kumbolo saat sejenak istirahat di sana, sebelum melewati tanjakan cinta. Setelah itu kami harus turun bukit lagi dan memalui padang rumput yang sangat luas dan datar. Rumput ini mampu menutupi seluruh badan saya, bahkan ada yang setinggi saya atau sekitar 176 cm. Padang rumput yang disebut Oro Rombo ini dapat ditempuh 30 menit, setelah itu kita akan berjumpa dengan Gunung Kelopo dengan ketinggian 2950 mdpl.
Mahameru atau puncak Gunung Semeru tepat dibelakang Gunung Kelopo saat kami keluar dari Oro Rombo, karena itu kami harus melipir dibagian kanan kaki Gunung Kelopo. Di sini butuh 2 jam untuk melewatinya, hingga mencapai Pos Kali Mati yang terletak di bagian utara kaki Mahameru.
Kali Mati merupakan sebuah padang rumput yang sempit, yang diapit oleh Gunung Kelopo dan Mahameru. Di sinilah kami beristirahat dan ngecamp.
Tanpa kami sadari, kami sudah dipeluk oleh Mahameru, Dia memberikan sedikit rintik hujan saat kami terlelap.
Jam setengah dua malam kami bangun untuk menyiapkan summit attack, yup… malam buta ini tenda dan barang-barang yang berat kami tinggalkan di Kali Mati. Dengan senter dan backpack kecil kami siap menembus puncak Mahameru.
1 jam berlalu kami sampai di Pos Arcopodo, kami pun terus mendaki. Senter berbentuk headlamp saya pakai, sering sekali tanpa sengaja headlamp ini menyenter sebuah batu Nissan. Jantung ini pun bergetar tak karuan, yup banyak sekali dalam perjalanan ini saya menjumpai batu Nissan yang menandakan bahwa banyak pendaki yang tewas demi menjumpai Mahameru. Ada yang meninggal tahun 70an, 80an dan bahkan 90an dengan rata-rata usia meninggal 20-28 tahun. Lupakan sejenak tentang Nissan, jalur ini semakin mengerikan karena selain gelap, jalur ini sangat sempit, di sisi kanan dan kiri merupakan jurang yang siap meremukkan kepala.
Tapi apa kata dunia bila perjalanan yang jauh ini, yang bisa membuat saya dipecat karena bolos kerja, lalu saya kembali ke bawah karena takut akan kematian. Dengan suhu yang tipis dan kaki yang terus dihantui keram, saya terus berjalan sampai akhirnya menemui jalur berpasir. Yup… inilah Pelawangan Mahameru.
Sekitar jam 3.30 saya bertemu dengan jalur pasir ini, di ketinggian 3100 mdpl. Ini berarti saya harus mendaki pasir setinggi 500 meter. Pendakian yang sulit…
Awalnya, dua kaki melangkah, satu kaki merosot. Lama kelamaan tiga kaki melangkah, dua kaki merosot. Mataharipun muncul dan langit semakin terang saja, tapi saya belum sampai ke Puncak Mahameru itu. Satu persatu sebagian kecil orang mundur dan nyerah tak melanjutkan pendakian ke puncak. Yang Berbadan ideal lebih mudah untuk terus melangkah, ada beberapa Bapak-bapak, satu Ibu-ibu dan satu wanita yang terus dituntun oleh ayahnya.
Semakin tinggi, udara semakin tipis rasanya untuk dihirup, suhu semakin dingin, kaki semakin lemah. Pantaslah Dewa 19 membuat lirik Mahameru dengan kata “bertanya-tanya kapankah berakhir?”. Ada dimana saya merasa sangat kedinginan dan kehausan karena air 1,5 liter yang saya bawa telah habis diminum. Saat itu saya hampir kehilangan berfikir, jaket yang tebal tidak berguna, sangat dingin. Akhirnya air minum dari teman dan sebatang rokok pun menjadi sahabat yang sedikit menghangatkan tubuh. Dengan emosi saya terus melangkah ke Puncak.
Sebagian orang, bahkan kebanyakan orang menganggap apalah gunanya jalan-jalan naik gunung yang melelahkan itu. Sebagian orang lebih menyukai menghilangkan strees dengan memasuki hiburan malam. Sebagian orang lebih menyukai terus menerus bekerja dan mengumpulkan uang agar menjadi orang sukses. Sebagian orang terus saling menjatuhkan demi kekuasaan. Sebagian orang saling menghina dan mencaci demi harga diri. Sebagian orang saling mencuri materi dari yang bukan miliknya. Sebagian orang merasa dirinya adalah yang benar.
Dan di sini, saya adalah sebagian kecil orang atau mungkin saya sendiri yang merasa bahwa saya sangatlah bodoh, tidak mempunyai apa-apa, tidak bisa apa-apa. Sangat kecil diri ini… sungguh sangat kecil, di Jakarta sana saya seperti debu, di kantor tak bisa apa-apa, terlalu banyak orang pintar di sana. Di atas puncak Mahameru keriuhpikukan duniawi terasa terlempar dalam kawah yang panas, angin yang sangat dingin benar-benar menampar wajah ini, Mahameru menegur saya dengan atmosfirnya agar saya tunduk, agar tidak sombong, agar sadar bahwa hidup ini bukanlah apa-apa. Tidaklah terlalu penting kenimatan duniawi, yang penting bagaimana hubungan mu dengan sahabat-sahabat mu, dengan sudara mu, dengan orang disekitar mu. Pedulikah engakau dengan mereka?
Seandainya dari sini ada jembatan menuju akhirat, mungkin saya akan terus mendakinya. Ingin melihat seperti apakah Surga dan Neraka, yang menjadi perdebatan tiada akhir bagi penghuni muka bumi.
Sekitar jam 7 di puncak Mahameru itu, semua rasanya lenyap.
Rano dapat berarti danau, yup.. dari pandangan yang berbukit-bukit ini membentuk cekungan yang cukup luas hingga membentuk danau. Entah siapa yang mengajari para penduduk disini, mereka mampu menanam sayur-sayuran di sisi-sisi bukit yang curam. Tanah yang merupakan limpasan kandungan organik Gunung Vulkanis Semeru, serta suhu udara yang cukup dingin itu membentuk surga bagi para petani. Tiap beberapa jam saya melihat truk pengangkut sayuran melintasi jalan satu-satunya yang tersedia di sini, yang menghubungkan desa kecil ini dengan kota besar di sana, yang memerlukan waktu sekitar 3 jam.
Esoknya saya menuju Rano Kumbolo melalui jalur yang tak biasa orang-orang lalui. Karena harus mendaki melewati Gunung Ajek-Ajek (dibaca ayek-ayek), maka jalur ini dinamakan jalur ayek-ayek. Sekitar 3 jam kami berhasil melewati jalur ayek-ayek, dari sini kami sadar mengapa orang jarang melalui jalur ini. Yah, jalur ini mampu membuat betis terasa naik dan keram, karena rasanya seperti mendaki puncak gunung. Pemandangannya pun biasa saja, hanya hutan dan hutan.
Keluar dari ayek-ayek kami turun lagi untuk memasuki padang rumput yang sangat luas, sunyi dan datar. Sekitar 1,5 jam kami sampai di pos Ranu Kumbolo. Danau ini dikelilingi bukit-bukit hijau berkulit rumput, semak dan hutan. Di sinilah kami bertemu dengan para pendaki lain, namun karena Pendakian Semeru baru dibuka 2 hari yang lalu maka di Ranu Kumbolo ini tidak terlalu ramai, tak lebih dari 50 orang.
Danau atau Ranu yang tenang ini memiliki air yang sangat jernih dengan ketinggian permukaan 2400 mdpl, beberapa pendaki terlihat mengambil air untuk dimasak. Tepat di belakang Pos Ranu Kumbolo terdapat tanjakan untuk menembus jalur menuju Puncak Semeru. Tanjakan ini menjadi track sensasional karena terdapat kepercayaan bahwa bila pendaki melewati tanjakan ini tanpa berhenti dan menengok ke belakang, maka orang yang kita bayangkan akan menjadi jodoh kita. Orang-orang mengenal ini dengan sebutan TANJAKAN CINTA.
Tiba-tiba rasa pegal saat melalui jalur ayek-ayek hilang seketika dan menjadi semangat baru untuk melewati tanjakan cinta itu. Hohoooo…. Dengan emosi yang luar biasa, saya pun tak menoleh kebelakan sambil konsentrasi melewatinya. Hahaaa… sayapun berhasil… Horeeee… tapi karena seluruh energi terkuras pada tanjakan yang terlihat tidak terlalu jauh itu, maka setelah melewatinya, kaki rasanya keram… hahaa… saya sendiri merasakan keram di kedua paha. Lalu bagaimana teman saya yang lain?
Roti, susu dan minuman hangat lainnya menjadi teman kami di Ranu Kumbolo saat sejenak istirahat di sana, sebelum melewati tanjakan cinta. Setelah itu kami harus turun bukit lagi dan memalui padang rumput yang sangat luas dan datar. Rumput ini mampu menutupi seluruh badan saya, bahkan ada yang setinggi saya atau sekitar 176 cm. Padang rumput yang disebut Oro Rombo ini dapat ditempuh 30 menit, setelah itu kita akan berjumpa dengan Gunung Kelopo dengan ketinggian 2950 mdpl.
Mahameru atau puncak Gunung Semeru tepat dibelakang Gunung Kelopo saat kami keluar dari Oro Rombo, karena itu kami harus melipir dibagian kanan kaki Gunung Kelopo. Di sini butuh 2 jam untuk melewatinya, hingga mencapai Pos Kali Mati yang terletak di bagian utara kaki Mahameru.
Kali Mati merupakan sebuah padang rumput yang sempit, yang diapit oleh Gunung Kelopo dan Mahameru. Di sinilah kami beristirahat dan ngecamp.
Tanpa kami sadari, kami sudah dipeluk oleh Mahameru, Dia memberikan sedikit rintik hujan saat kami terlelap.
Jam setengah dua malam kami bangun untuk menyiapkan summit attack, yup… malam buta ini tenda dan barang-barang yang berat kami tinggalkan di Kali Mati. Dengan senter dan backpack kecil kami siap menembus puncak Mahameru.
1 jam berlalu kami sampai di Pos Arcopodo, kami pun terus mendaki. Senter berbentuk headlamp saya pakai, sering sekali tanpa sengaja headlamp ini menyenter sebuah batu Nissan. Jantung ini pun bergetar tak karuan, yup banyak sekali dalam perjalanan ini saya menjumpai batu Nissan yang menandakan bahwa banyak pendaki yang tewas demi menjumpai Mahameru. Ada yang meninggal tahun 70an, 80an dan bahkan 90an dengan rata-rata usia meninggal 20-28 tahun. Lupakan sejenak tentang Nissan, jalur ini semakin mengerikan karena selain gelap, jalur ini sangat sempit, di sisi kanan dan kiri merupakan jurang yang siap meremukkan kepala.
Tapi apa kata dunia bila perjalanan yang jauh ini, yang bisa membuat saya dipecat karena bolos kerja, lalu saya kembali ke bawah karena takut akan kematian. Dengan suhu yang tipis dan kaki yang terus dihantui keram, saya terus berjalan sampai akhirnya menemui jalur berpasir. Yup… inilah Pelawangan Mahameru.
Sekitar jam 3.30 saya bertemu dengan jalur pasir ini, di ketinggian 3100 mdpl. Ini berarti saya harus mendaki pasir setinggi 500 meter. Pendakian yang sulit…
Awalnya, dua kaki melangkah, satu kaki merosot. Lama kelamaan tiga kaki melangkah, dua kaki merosot. Mataharipun muncul dan langit semakin terang saja, tapi saya belum sampai ke Puncak Mahameru itu. Satu persatu sebagian kecil orang mundur dan nyerah tak melanjutkan pendakian ke puncak. Yang Berbadan ideal lebih mudah untuk terus melangkah, ada beberapa Bapak-bapak, satu Ibu-ibu dan satu wanita yang terus dituntun oleh ayahnya.
Semakin tinggi, udara semakin tipis rasanya untuk dihirup, suhu semakin dingin, kaki semakin lemah. Pantaslah Dewa 19 membuat lirik Mahameru dengan kata “bertanya-tanya kapankah berakhir?”. Ada dimana saya merasa sangat kedinginan dan kehausan karena air 1,5 liter yang saya bawa telah habis diminum. Saat itu saya hampir kehilangan berfikir, jaket yang tebal tidak berguna, sangat dingin. Akhirnya air minum dari teman dan sebatang rokok pun menjadi sahabat yang sedikit menghangatkan tubuh. Dengan emosi saya terus melangkah ke Puncak.
Sebagian orang, bahkan kebanyakan orang menganggap apalah gunanya jalan-jalan naik gunung yang melelahkan itu. Sebagian orang lebih menyukai menghilangkan strees dengan memasuki hiburan malam. Sebagian orang lebih menyukai terus menerus bekerja dan mengumpulkan uang agar menjadi orang sukses. Sebagian orang terus saling menjatuhkan demi kekuasaan. Sebagian orang saling menghina dan mencaci demi harga diri. Sebagian orang saling mencuri materi dari yang bukan miliknya. Sebagian orang merasa dirinya adalah yang benar.
Dan di sini, saya adalah sebagian kecil orang atau mungkin saya sendiri yang merasa bahwa saya sangatlah bodoh, tidak mempunyai apa-apa, tidak bisa apa-apa. Sangat kecil diri ini… sungguh sangat kecil, di Jakarta sana saya seperti debu, di kantor tak bisa apa-apa, terlalu banyak orang pintar di sana. Di atas puncak Mahameru keriuhpikukan duniawi terasa terlempar dalam kawah yang panas, angin yang sangat dingin benar-benar menampar wajah ini, Mahameru menegur saya dengan atmosfirnya agar saya tunduk, agar tidak sombong, agar sadar bahwa hidup ini bukanlah apa-apa. Tidaklah terlalu penting kenimatan duniawi, yang penting bagaimana hubungan mu dengan sahabat-sahabat mu, dengan sudara mu, dengan orang disekitar mu. Pedulikah engakau dengan mereka?
Seandainya dari sini ada jembatan menuju akhirat, mungkin saya akan terus mendakinya. Ingin melihat seperti apakah Surga dan Neraka, yang menjadi perdebatan tiada akhir bagi penghuni muka bumi.
Sekitar jam 7 di puncak Mahameru itu, semua rasanya lenyap.