26 Oktober 2010, jam 7.30 saya sampai di Bandara Soekarno-Hatta, saya bertemu dengan 2 bapak dan 1 kakek2 yang akan ikut dalam perjalanan saya ke Riau nanti. Jam 9 pagi saya lepas landas bersama Lion Air, beruntung saya duduk didekat jendela sehingga saya bias menikmati pemandangan pagi ini bersama awan-awan. Maklumlah, ini perjalanan pertama saya di Pulau Sumatera, 2 tahun yang lalu saya pernah melihat pulau yang besar ini dari Kapal Baruna Jaya VIII, ketika itu saya terombang ambing di perairan selat sunda selama 5 hari. Kini saya bias melihat jejaknya dari atas. Indahnya negeri ini…
Lepas landas, perlahan lahan permukaan bumi semakin jauh. Saya melihatnya seperti melihat foto udara atau foto satelit citra Quickbirt, dimana mobil dan rumah-rumah kecil terlihat jelas. Semakin tinggi seperti melihat citra spot 5 dengan resolusi yang semakin kecil hingga awan ada di bawah pesawat. Otak saya langsung terasngsang akan perjalanan teknologi foto satelit, bagaimana perkembangan ini menghasilkan alat-alat analisi keruangan/spasial yang sangat canggih. Alat-alat untuk melihat permukaan bumi ini berbeda-beda sesuai fungsi, seperti melihat tata kota, kandungan minyak, kandungan mineral dalam bumi, serta pergerakan awan dan hujan.
1 jam 20 menit saya sampai di Bandara Syarif Kasim II, langsung dijemput oleh mobil menuju Bagansiapiapi. Awan putih, langit biru dan kebun sawit seperti tidak ada ujungnya karena. 7 jam kemudian sampailah di Bagansiapiapi (capek, capek deh). Agak sedikit aneh di kota kecil ini, disetiap persimpangan tidak terdapat lampu lalu lintas sehingga kita harus hati-hati menyebrang. Yang paling anehnya lagi disini ramai suara burung wallet. Yup, hampir setiap bangunan tinggi memiliki suara buatan burung walet agar burung-burung itu bersarang di rumahnya. Selain mencari ikan yang semakin lama semakin berkurang, kini burung walet menjadi penghasil sampingan yang bisa dijual sarangnya dan liurnya.
Bagansiapiapi seperti tempat pemuja, dimana mana dipenuhi kuil, dan di setiap rumah terdapat patung-patung sesembahan. Sebagian besar di sini adalah orang cina, mereka bernelayan dan berdagang. Bahasanya pun kebanyakan cina, cina apa saya juga belum tahu persis, sepertinya cina kek. Sedikit orang melayu, padang dan batak. Saat saya presentasi di salah satu kantor pemerintahannya, saya tidak melihat orang-orang cina tersebut walau mereka mendominasi. Orang cina disana ada juga yang kulitnya hitam, hidup miskin dan sederhana, tidak seperti orang pemertintahnya yang gemuk-gemuk. Gara-gara melihat orang gemuk dengan HP canggih itu yang mungkin terbiasa dengan makan enak, saya menjadi tidak ingin menjadi orang gemuk. Yup, mana enak hidup mewah dengan di kelilingi orang yang sulit untuk makan walau beda ras dan suku. Hup… jadi kesal sendiri…
Becak di sana lucu, tidak dikendarai dengan tenaga manusia seperti di Jogja, di Bagansiapiapi becak menempel di motor. Ke depan, kantor pemerintahannya akan ditempatkan di tempat baru dengan bangunan yang baru dan bagus dekat dengan muara sungai. Malam harinya saya kelayaban sendiri mencari suasana, sialnya tidak ada sinyal Indosat, hanya ada Simpati dan Xl.
Saya nongkrong di Taman Kota sambil mengisap beberapa punting rokok, lalu masuk ke warnet tp sial sinyalnya lagi putus-putus. Saat itu, saya merasa jauh dan termarginalkan. Otak saya pun terasngsang akan kehidupan lain ini, bagaimana bila saya lahir dan menjadi orang cina di sini? Saya terus memikirnya saat saya di dalam mobil menuju Pekanbaru yang akan menghabiskan waktu 7 jam.
27 oktober 2010, tadi malam saya menginap di Wisma 81 di jalan Sudirman. Motor dan mobil masih saja sibuk, tapi tidak berpakaian kantor seperti di Jakarta. Sepertinya mereka habis pacaran atau sekedar nongkrong di Simpang tiga. Saya mencoba sate padang yang lewat di depan saya saat saya asik ngobrol dengan penjaga warung klontong pinggir jalan dekat penginapan saya. Sambalnya berwarna merah, entah apa isinya tapi rasanya sama seperti sate padang yang saya makan di Jakarta.
Paginya saya naik Trans Pekanbaru dengan tiket seharga 3 ribu rupiah, tidak tahu mau kemana saya ikutin saja sendiri sampai akhirnya bertemu terminal kalim dan kembali lagi ketempat halte saya yaitu Cempedak. Saya melihat Mol SKA dan beberapa kantor pemerintahan dan Masjid yang unik. Di setiap kantor terdapat corak yang sama, dan paling modern adalah gedung perpustakaan. Bahkan ini lebih bagus dari bangunan yang ada di Jakarta yang pernah saya lihat.
Kata sahabat saya, tidak afdol kalau belum ke Pasar Bawah, di sini terdapat kerajinan, kain-kain dan makanan khas Pekanbaru. Ketika saya ingin membeli kaos, ternyata made in Bandung, hehehee…. Kata abangnya sih kainnya dari sini namun disablon di Bandung. Perhiasan gelang dan kalung membuat pasar ini bernuansa antik. Tapi menurut saya seperti di Tanah Abang ataupun di Jatinegara. Mana orangnya kebanyakan orang padang. Begitulah Pekanbaru, isinya sebagian besar orang padang. Masakannya pun kebanyakan masakan padang, seperti di Bagansiapiapi.
jam 2 siang saya kembali ke Jakarta dan terkena macet, namun saya lebih senang di Jakarta, karena di Jakartalah rumah saya, tempat sahabat dan orang-orang yang dekat dengan saya. Hukhuk… mellow sekali….. dalam perjalanan ini saya lebih senang dengar cerita dari Pak Radit atau Mbah Radit karena usianya sudah 62 tahun, sudah 20 tahun menjadi vegetarian. Beliau sangat lincah dan lucu. Berikut saya sedikit menceritakan cerita lucu bersamanya.
“kalau berobat di Puskesmas itu murah ya tapi sengsara, disuruh bolak balik terus tidak seperti di Rumah Sakit, sampai saya tahu bahwa puskesmas itu Cuma bisa menyembuhkan 3 penyakit yaitu pusing, keseleo dan masuk angin” kata mbah Radit. 3 penyakit itu singkatan dari puskesmas. Mbah lulusan S1 Geodesi ITB itu langsung dapat master di Belanda, dan beberapa program di Jerman dan Perancis. Hati saya langsung tersabet pedang, yup…itukan mimpi saya. Setelah melewati tiga Negara tersebut, beliau ke Jepang lalu ke Amerika, haaaggg… membuat saya bengong. “saya dulu sering mendaki gunung ketinggian diatas 3000 meter”, wah anak pecinta alam juga toh? Hati saya berfikir lagi, “itu mah sama seperti saya”….
Selain gunung di Indonesia beliau juga pernah mencapai puncak Gunung Fuji di Jepang, dan beberapa gunung salju di Eropa. Wahhhh…. Mendengar ceritanya membuat saya nangis…. Itu mah mimpi saya pak… lalu saya iseng bertanya “trus meridnya kapan pak?”, ternyata mbah tersebut menikah ketika ia lulus kuliah S1, bersama kepergiannya untuk kuliah di Belanda. *ahhhhh…. Sumpah ni orang bikin ngiri aja… denger ceritanya bikin mati… mimpi saya sudah terjadi di dirinya…
Hebat banget ya itu orang, senang sekali bisa jalan bersamanya… begitulah kalau orang memiliki pengalaman yang hebat, sedikit bicara membuat orang lain tersanjung dan senang. Setidaknya perjalanan ini sedikit membalut luka karena saya tidak dapat ujian salah satu cpns gara2 harus ke Riau ini…
Lepas landas, perlahan lahan permukaan bumi semakin jauh. Saya melihatnya seperti melihat foto udara atau foto satelit citra Quickbirt, dimana mobil dan rumah-rumah kecil terlihat jelas. Semakin tinggi seperti melihat citra spot 5 dengan resolusi yang semakin kecil hingga awan ada di bawah pesawat. Otak saya langsung terasngsang akan perjalanan teknologi foto satelit, bagaimana perkembangan ini menghasilkan alat-alat analisi keruangan/spasial yang sangat canggih. Alat-alat untuk melihat permukaan bumi ini berbeda-beda sesuai fungsi, seperti melihat tata kota, kandungan minyak, kandungan mineral dalam bumi, serta pergerakan awan dan hujan.
1 jam 20 menit saya sampai di Bandara Syarif Kasim II, langsung dijemput oleh mobil menuju Bagansiapiapi. Awan putih, langit biru dan kebun sawit seperti tidak ada ujungnya karena. 7 jam kemudian sampailah di Bagansiapiapi (capek, capek deh). Agak sedikit aneh di kota kecil ini, disetiap persimpangan tidak terdapat lampu lalu lintas sehingga kita harus hati-hati menyebrang. Yang paling anehnya lagi disini ramai suara burung wallet. Yup, hampir setiap bangunan tinggi memiliki suara buatan burung walet agar burung-burung itu bersarang di rumahnya. Selain mencari ikan yang semakin lama semakin berkurang, kini burung walet menjadi penghasil sampingan yang bisa dijual sarangnya dan liurnya.
Bagansiapiapi seperti tempat pemuja, dimana mana dipenuhi kuil, dan di setiap rumah terdapat patung-patung sesembahan. Sebagian besar di sini adalah orang cina, mereka bernelayan dan berdagang. Bahasanya pun kebanyakan cina, cina apa saya juga belum tahu persis, sepertinya cina kek. Sedikit orang melayu, padang dan batak. Saat saya presentasi di salah satu kantor pemerintahannya, saya tidak melihat orang-orang cina tersebut walau mereka mendominasi. Orang cina disana ada juga yang kulitnya hitam, hidup miskin dan sederhana, tidak seperti orang pemertintahnya yang gemuk-gemuk. Gara-gara melihat orang gemuk dengan HP canggih itu yang mungkin terbiasa dengan makan enak, saya menjadi tidak ingin menjadi orang gemuk. Yup, mana enak hidup mewah dengan di kelilingi orang yang sulit untuk makan walau beda ras dan suku. Hup… jadi kesal sendiri…
Becak di sana lucu, tidak dikendarai dengan tenaga manusia seperti di Jogja, di Bagansiapiapi becak menempel di motor. Ke depan, kantor pemerintahannya akan ditempatkan di tempat baru dengan bangunan yang baru dan bagus dekat dengan muara sungai. Malam harinya saya kelayaban sendiri mencari suasana, sialnya tidak ada sinyal Indosat, hanya ada Simpati dan Xl.
Saya nongkrong di Taman Kota sambil mengisap beberapa punting rokok, lalu masuk ke warnet tp sial sinyalnya lagi putus-putus. Saat itu, saya merasa jauh dan termarginalkan. Otak saya pun terasngsang akan kehidupan lain ini, bagaimana bila saya lahir dan menjadi orang cina di sini? Saya terus memikirnya saat saya di dalam mobil menuju Pekanbaru yang akan menghabiskan waktu 7 jam.
27 oktober 2010, tadi malam saya menginap di Wisma 81 di jalan Sudirman. Motor dan mobil masih saja sibuk, tapi tidak berpakaian kantor seperti di Jakarta. Sepertinya mereka habis pacaran atau sekedar nongkrong di Simpang tiga. Saya mencoba sate padang yang lewat di depan saya saat saya asik ngobrol dengan penjaga warung klontong pinggir jalan dekat penginapan saya. Sambalnya berwarna merah, entah apa isinya tapi rasanya sama seperti sate padang yang saya makan di Jakarta.
Paginya saya naik Trans Pekanbaru dengan tiket seharga 3 ribu rupiah, tidak tahu mau kemana saya ikutin saja sendiri sampai akhirnya bertemu terminal kalim dan kembali lagi ketempat halte saya yaitu Cempedak. Saya melihat Mol SKA dan beberapa kantor pemerintahan dan Masjid yang unik. Di setiap kantor terdapat corak yang sama, dan paling modern adalah gedung perpustakaan. Bahkan ini lebih bagus dari bangunan yang ada di Jakarta yang pernah saya lihat.
Kata sahabat saya, tidak afdol kalau belum ke Pasar Bawah, di sini terdapat kerajinan, kain-kain dan makanan khas Pekanbaru. Ketika saya ingin membeli kaos, ternyata made in Bandung, hehehee…. Kata abangnya sih kainnya dari sini namun disablon di Bandung. Perhiasan gelang dan kalung membuat pasar ini bernuansa antik. Tapi menurut saya seperti di Tanah Abang ataupun di Jatinegara. Mana orangnya kebanyakan orang padang. Begitulah Pekanbaru, isinya sebagian besar orang padang. Masakannya pun kebanyakan masakan padang, seperti di Bagansiapiapi.
jam 2 siang saya kembali ke Jakarta dan terkena macet, namun saya lebih senang di Jakarta, karena di Jakartalah rumah saya, tempat sahabat dan orang-orang yang dekat dengan saya. Hukhuk… mellow sekali….. dalam perjalanan ini saya lebih senang dengar cerita dari Pak Radit atau Mbah Radit karena usianya sudah 62 tahun, sudah 20 tahun menjadi vegetarian. Beliau sangat lincah dan lucu. Berikut saya sedikit menceritakan cerita lucu bersamanya.
“kalau berobat di Puskesmas itu murah ya tapi sengsara, disuruh bolak balik terus tidak seperti di Rumah Sakit, sampai saya tahu bahwa puskesmas itu Cuma bisa menyembuhkan 3 penyakit yaitu pusing, keseleo dan masuk angin” kata mbah Radit. 3 penyakit itu singkatan dari puskesmas. Mbah lulusan S1 Geodesi ITB itu langsung dapat master di Belanda, dan beberapa program di Jerman dan Perancis. Hati saya langsung tersabet pedang, yup…itukan mimpi saya. Setelah melewati tiga Negara tersebut, beliau ke Jepang lalu ke Amerika, haaaggg… membuat saya bengong. “saya dulu sering mendaki gunung ketinggian diatas 3000 meter”, wah anak pecinta alam juga toh? Hati saya berfikir lagi, “itu mah sama seperti saya”….
Selain gunung di Indonesia beliau juga pernah mencapai puncak Gunung Fuji di Jepang, dan beberapa gunung salju di Eropa. Wahhhh…. Mendengar ceritanya membuat saya nangis…. Itu mah mimpi saya pak… lalu saya iseng bertanya “trus meridnya kapan pak?”, ternyata mbah tersebut menikah ketika ia lulus kuliah S1, bersama kepergiannya untuk kuliah di Belanda. *ahhhhh…. Sumpah ni orang bikin ngiri aja… denger ceritanya bikin mati… mimpi saya sudah terjadi di dirinya…
Hebat banget ya itu orang, senang sekali bisa jalan bersamanya… begitulah kalau orang memiliki pengalaman yang hebat, sedikit bicara membuat orang lain tersanjung dan senang. Setidaknya perjalanan ini sedikit membalut luka karena saya tidak dapat ujian salah satu cpns gara2 harus ke Riau ini…