Batu kerikil tak beraturan terbang melayang di udara, ledakan petasan dan senapan angin meramaikan suara dan sekaligus membuat diam suara kenalpot. Pemberani berdiri di depan menggunakan pedang atau cerurit, ada yang memakai helm dan ada yang tidak. Setengah meter dari tempat saya berdiri pun terkena ledakan petasan yang keras.
Senapan angin dorlop dan mimis menjadi senjata paling keren, berkali-kali saya melihat anak tanggung terkena senapan. Ibu-ibu mengumpulkan batu dan air minum untuk para lelaki jagoannya. Tawuran ini selalu saja terjadi sejak saya masih kecil sampai tangan ini mengetik.
Meskipun kantor polisi sudah dibangun sejak setahun lebih yang lalu, namun perkelahian antar warga di sini tetap saja tak terhentikan. Menteng Tenggulun VS Pasar Rumput menjadi perkelahian yang tak ada ujungnya, walau beberapa kali sudah memakan korban jiwa dikedua belah pihak.
Sebagai anak menteng, saya miris…
Sengaja saya mendekat lokasi tawuran, saya pun terbawa dalam masa lama, masa ketika saya senang sekali ikut tawuran karena pada masa itu saya merasa sangat laki-laki bila ikut tawuran. Puncak terakhir saya tawuran ketika lulus SMP, bersama teman-teman SMP kami mencari musuh dengan menumpangi bus. Tanpa disadari ternyata seorang wartawan berhasil merekam kami dengan kamera fotonya, maka keesokan harinya kami dipanggil kepala sekolah untuk dimintai pertanggungjawaban karena foto kami beramai-ramai masuk dalam lembaran Koran Kompas.