Di ketinggian 30.000 kaki, sambil memandang awan yang melayang. Sambil bercakap-cakap dengan teman sebelah, sesaat saya perhatikan langkah saya. Kegagalan demi kegagalan terus terjadi dalam hidup saya, punah namun saya tidak ingin menyerah. Roda-roda pun berjalan dalam hidup saya, terkadang pahit dan terkadang manis.
Sang Pemimpi mengajarkan saya untuk terus berjuang menembus langit, menghiraukan waktu dan ruang. Laki-laki macam apa yang menyerah begitu saja, menangis dalam penderitaan dan berharap nasib akan berubah sendiri, berfoya-foya seakan semua tidak ada artinya. Sekali lagi, nasib tidak akan berubah bila tak dirubah.
Lionel Messi pergi ke Barcelona demi pendidikan sepakbola yang lebih baik, Habibi ke Jerman demi menimba ilmu tentang teknologi pesawat, Abdee Slank pergi ke Australia untuk belajar music yang lebih bagus. Sebagian besar orang pergi merantau untuk menemukan ilmu baru atau menggali ilmunya yang sudah ada agar menjadi lebih baik.
Masih di pesawat perjalanan dari Makasar menuju Jakarta, saya perhatikan semua orang dalam pesawat termasuk pramugari dan pilot. Cuma satu intinya, mereka memiliki kehidupan sendiri, resiko sendiri dan tantangan sendiri, antara penumpang memiliki perbedaan pekerjaan, begitupula pramugari dan pilot.
Tentang penderitaan, sambil melirik bumi dari langit, di setiap tempat memiliki tingkat kemakmuran yang berbeda-beda. Terlebih di Jakarta, seperti ada batas antara orang yang hidup di perumahan kumuh dengan teratur, atau antara mereka yang hidup di gedung-gedung tinggi yang bagus dan ber-AC dengan mereka yang hidup di kolong jembatan, di jalanan atau di sebuah tempat yang kita tidak tahu. Kematian mereka tak pernah diketahui, siapa keluarganya dan dimana dikuburnya. Salahkah mereka yang tidak mau berusaha atau salahkah mereka yang tidak ingin membantu?
Awan-awan mengajariku untuk berbagi, melupakan kesenangan yang tidak ada habisnya dan berusaha mengejar mimpi-mimpi mulia, walau harus jungkir balik untuk mendapatkannya. Jangan mengeluh dan berputus asa.