Kesuksesan dalam bentuk apapun bisa dikejar, apapun sepertinya di jaman seperti ini hampir memungkinkan bisa dicapai. Tinggal seperti apa manusia menginginkan sesuatu yang dimaunya. Beberpa pekan yang lalu saya berdiskusi dengan dua orang pengusaha, pengusahaa pertama bilang “Mimpi itu realistis, pelaksanaanya tidak realistis”, tiba-tiba pengusaha kedua bilang “Mimpi itu tidak realistis tapi pelaksanaannya realistis, pelaksanaannya dibangun nyata untuk mewujudkan mimpi yang tidak realistis”. Saya terus mencermati maksud keduanya, tiba-tiba sipengusaha kedua bilang “Kalu takut bermimpi yang besar, sama saja mengecilkan Tuhan... klo pelaksanaan tidak realistis bagaimana membangun mimpi tersebut”.
Dalam dunia usaha, memang si pengusaha kedua lebih senior dibanding si pengusaha pertama. Lalu si pengusaha kedua berkata lagi “Mengapa Nabi Nuh terus membangun kapal laut walau sudah dihina dan dicela? itu karena Keyakinannya besar”. Maksud si pengusaha kedua, bila kita yakin, maka mimpi dapat menjadi nyata. Lalu si pengusaha kedua terus bercerita “mengapa perlu realistis dalam pelaksanaan, karena jaman ini mengikuti Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad SAW tidak diberikan mukjizat seperti Nabi-Nabi lain yang tidak masuk akal seperti Nabi Ibrahim yang tahan api atau Nabi Isa yang dapat menyembuhkan penyakit”. Maksudnya, Nabi Muhammad SAW sangat sederhana, tidak perlu sesuatu yang tidak masuk akal, oleh karenanya kita mengikuti beliau agar kita berusaha dengan realistis, namun bermimpi besar.
...
Setelah percakapan itu saya banyak merenungi dan menelaah maksud diskusi yang hangat itu. Lalu saya berfikir, apa yang mesti saya bantu dalam kehidupan? apa yang mesti saya dukung dan saya idealiskan? Siapa yang mesti saya bantu bila saya sudah cukup memenuhi hidup? Mestikah saya hidup dengan kesederhanaan yang menjadikan hidup irit/prihatin? Karena si pengusaha kedua bilang setelah itu “Orang-orang terkadang lucu, masa ketika tidak ada uang disuruh prihatin... mestinya ketika tidak ada uang ya mestinya mencari uang yang lebih”
Kalau bisa menghasilkan pendapatan yang besar, kenapa tidak? bila itu bisa terus membuat kita membantu orang disekitar kita, mengapa tidak? nah ngomong-ngomong membantu orang setelah kita bisa membantu diri sendiri, pertanyaannya siapa yang mesti dibantu?
Hal ini persis sama ketika saya kuliah dulu, dulu saya pikir yang diprioritaskan yaitu membantu Negara dengan berjuang menjadi anggota kemahasiswaan yang aktif. Saat itu saya sangat mendukung kegiatan apapun yang bersifat idealis, bahkan saya ikut menjadi anggotanya. Namun ada batas lelah ketika saya berkoar-koar ternyata tidak bisa mengalahkan si pemegang kekuasaan, dan tidak jelas apa yang saya koar-koarkan, sampai akhirnya saya memilih mendaki gunung dan jalan-jalan adalah hal yang saya senangi.
Nah, pernah saya menonton film perang entah apa judulnya...intinya ketika perang dan terkurung dalam pertempuran si tokoh cerita bilang “ketika dalam pertempuran seperti ini, kami tidak bertempur membela Negara... tapi membela teman-teman kami yang seperjuangan ini, kami akan saling melindungi agar bisa bertahan hidup.. bukan untuk Negara tapi untuk sahabat-sahabat kami”
Tiba-tiba saja yang mendalami lagi apa yang ingin saya perjuangkan dalam hidup, apa benar Negara ini yang mesti saya perjuangkan? ketika ada sudara saya yang membutuh bantuan uang, apa yang mesti saya lakukan? sejak itu saya berfikir, mestinya saya berjuang untuk keluarga, sudara dan orang-orang terdekat saya dahulu, baru kemudian yang lebih luas.... iyaaa... merekalah yang mesti saya dekatkan, sahabat-sahabatlah yang mesti saya dekatkan, bukan pejabat-pejabat ataupu orang yang pintar yang baru saya kenal.
Saya ingin hidup ceria bersama mereka, yaitu keluarga, sahabat dan orang-orang disekitar saya. Yaaa... saya mencintainya... mencintai mereka dan membantu mereka adalah kebahagian, karena selama ini bila saya sedang sakit, yang peduli adalah mereka...
Coba saja bayangin atau pikirkan, pernahkah anda sakit? siapa yang datang menjenguk kita? saya yakin bila kita bekerja di suatu perusahaan yang hebat sekalipun, para petinggi tidak akan menjenguk kita, atau saat mengikuti kegiatan organisasi, siapa yang ada disekitar kita saat kita lemah? Haha... itu hanya cerita sederhana...
Satu lagi, bila kita merasa cerdas dan pintar lalu kita berdiskusi dengan orang yang pintar juga, kira-kira berartikah ucapan kita itu? ternyata tidak selalu, bahkan lebih banyak tidaknya... tapi bila kita duduk bersama orang-orang disekitar kita yang sedang terpuruk hidupnya, lalu kita mengeluarkan kata mutiara dan motivasi, pasti akan bermanfaat buat mereka, pasti asalkan suara yang kita keluarkan itu tulus untuk membantu.... dari sini saya paham kita lebih baik menjadi mutiara putih ditengah mutiara hitam, dibanding menjadi mutiara putih di tengah mutiara putih. Dan manusia yang sudah kuat mental dan jiwanya, mereka tidak akan goyah walau ditengah orang-orang yang nakal dan berandalan. karena nakal dan berandalan itu sendiri bukan salahnya, hanya saja mereka lahir ditengah-tengah keadaan yang juga berandalan.
Hei sahabat-sahabat, mari kita bangkit dan semangat untuk hidup yang lebih baik.. yang penuh kecerian... hahaha asiiik banget nih kata-katanya... tumben....dan percuma bila sukses tapi keluarga, sahabat, dan orang-orang di sekitar kita terus terpuruk...