Terlalu banyak partai, terlalu banyak perdebatan dan terlalu banyak yang menginginkan kekuasaan. Apa jadinya negeri ini jika semua merasa benar, merasa yang dipikirkannya adalah langkah yang terbaik. Ada yang aneh di Negara demokrasi ini, satu per satu mulai berani mengucapkan keburukan-keburukan. Di sini saya mencoba melihat masyarakat sebagai pemilih.
Dari 230 juta lebih penduduk Indonesia, berapakah yang mengerti tentang kepemimpinan? Berapa yang berpendidikan tinggi? berapa yang mempunyai prinsip-prinsip hidup tentang kejujuran? Berapa yang menjalankan perintah agama? Berapa yang mengerti sejarah? Rasanya memang aneh… masyarakat kita yang tidak mengerti tentang itu semua harus menjadi pemilih, menjadi incaran para partai pastinya.
Diantara mahasiswa saja banyak perbedaan ideology, kepentingan dan kebutuhan. Sedangkan masyarakat hanya tahu kalau harga barang naik maka ia akan hidup semakin sulit. Kasihan masyarakat Indonesia. Apa benar yang dibutuhkan di negeri ini adalah demokrasi? Yang banyak menghabiskan biaya untuk perdebatan yang tak penting. Banyak sekali uang yang dikeluarkan untuk keberlangsungan partai.
Padahal, inti dari sebuah Negara adalah kemakmuran. Rakyatnya harus mempunyai penghasilan, dan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan. Sehingga dapat memperbaiki kehidupannya termasuk memperbaiki akhlaknya sendiri dan keluarganya. Apakah rakyat menjadi perhatian kita semua?
Negeri yang indah dan kaya akan sumberdaya alam ini pastinya milik masyarakat. Sayang sumberdaya manusianya masih lemah, menurut saya… karena sdm manusia kita masih lemah, tak perlulah bicara demokrasi yang kebanyakan bicara ini, “tong kosong nyaring bunyinya”.
Masih dibutuhkan pemimpin otoriter, namun yang berhati mulia dan mengerti tentang ilmu pengetahuan yang integrity. Karena negeri ini belum dewasa, masih memalukan di mata dunia. Walaupun juara bulu tangkis, tinju dan olympiade ilmu eksak. Itu hanya sebagian kecil dari 230 juta lebih penduduk Indonesia. Ingat… 230 juta lebih penduduk.
·Bersikap rendah hati adalah perlu untuk menghadapi orang lain. Rendah hati tidak berarti harus timide (pemalu atau penakut). Pada umumnya, orang suka kepada orang yang rendah hati. Rendah hati tidaklah merendahkan diri, bahkan sebaliknya.
·Sopan terhadap orang lain tidak mengurangi harga diri. Tidak sopan terhadap orang lain pada hakekatnya tidaklah sopan terhadap diri sendiri.
·Kecongkakan atau kesombongan tidak membikin orang lain lebih hormat kepada diri kita sendiri, bahkan sebaliknya. Demikian juga kesukaan untuk membual tanpa dasar. “tong kosong nyaring bunyinya,” kata satu pepatah.
·Kita senang kalau orang lain bersikap simpatik terhadap kita. Orang lain juga akan senang kalau kita bersikap simpatik terhadapnya. Kita tidak kehilangan apa-apa dengan bersikap simpatik terhadap orang lain.
·Merasa senang karena sudah membuat orang lain senang. Artinya, menarik kepuasan dari membuat kesenangan kepada orang lain.
·Merugikan orang lain, bisa berakibat-langsung atau tidak langsung, dan dalam beraneka rupa bentuk – merugikan diri sendiri, dalam jangka dekat atau jangka jauh. Kalau tidak bisa menolong orang lain, janganlah merugikan orang lain.
·Menolong orang lain, tidak selalu berarti kehilangan (waktu, uang, tenaga, atau jasa-jasa lain). Bahkan walaupun tidak selalu pertolongan kepada orang lain ini bisa menjadi pertolongan kepada diri sendiri (dalam berbagai bentuk, langsung atau tidak langsung, dalam jangka dekat atau jangka jauh).
·Kita senang atau menghormati orang yang suka menolong kita sendiri. Biasanya, orang lain akan senang atau menghormati kita, kalau kita suka menolong orang.
·Semua orang ingin dihormati, dan tidak ada yang mau dihina.
Kebenaran atau kebaikan yang pada suatu waktu, atau periode tertentu, dianggap “benar” atau “baik”, bisa saja bahwa kemudian ternyata menjadi “tidak benar” atau “tidak baik”. Disamping itu kebenaran atau kebaikan, atau kejelekan, sering sekali relatif. Relatif kepada apa, kepada siapa, kapan, dimana, dan seterusnya. Karena itu perlu selalu menyesuaikan atau mengontrol pikiran dengan perkembangan atau perobahan.
Dalam pergaulan atau dalam hubungan dengan orang lain, perlu berusaha melihat sesuatu dalam gerak. Semuanya berobah, dan rumit. Apa yang kelihatan, belum tentu merupakan yang “sebenarnya”. Disamping itu, yang sebenarnya itu pun pada suatu waktu bisa berobah. Menurut pengalaman beliau, pergaulan dalam masyarakat memang tidak mudah. Watak orang bermacam-macam, dan kepentingan orang juga berbeda-beda dan berobah-obah.