Dieng cukup terkenal di negeri kita ini, sebuah dataran tinggi (Plateu) di tengah Pulau Jawa itu memiliki beberapa kawah dan Telaga yang menyedot para pengunjung. Dengan rata-rata ketinggian di atas 2000 mdpl, Dieng sangat subur untuk pertanian khususnya kentang. Kentang Dieng merupakan kentang terbaik di negeri kita ini, tak heran seluruh kota di Pulau Jawa ikut merasakan nikmatnya kentang tersebut, bahkan pontianak dan beberapa kota di Pulau Kalimantan ikut menikmatinya.
Kentang Dieng berciri kulit yang halus, berbuah besar dan tahan lama, membuat kentang ini paling dicari diseluruh pasar kota-kota besar. Tidak seperti kentang Pengalengan yang musim tanamnya tidak sepanjang tahun, karena dipengaruhi curah hujan dan jenis tanah yang berbeda dari Dieng. Tidak pula seperti kentang dari Bromo yang warnanya hitam. Kentang Dieng memang satu-satunya di Negeri ini.
Belum lama saya mendatangi Dieng dengan bermalam di Garung Wonosobo, kali ini saya pergi untuk membantu teman untuk survey penelitiannya tentang pemasaran Kentang Dieng, Wonosobo.
Untuk mengunjungi Dieng dari Wonosobo, kita akan selalu diikuti oleh Gunung Sindoro. Gunung dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl itu terlihat halus dari jalanan yang menghubungkan kota Wonosobo dengan Dieng. Kata sebagian orang di Desa Garung Wonosobo, orang yang pernah mendaki Gunung Sindoro maka keinginannya akan terkabul. Hoooiii… saya sendiri pernah mendaki Sindoro pada tahun 2008, dari gunung tersebutlah saya melihat keindahan Wonosobo dan Dieng.
Sabtu sore saya sampai di Desa Dieng yang sedang hujan deras, maka kedinginanlah saya apalagi saya mencapai Dieng dengan motor tanpa jaket. Seperti apakah dinginnya? Hehe… beristirahalah saya di salah satu warung yang menyediakan minuman hangat. Di sinilah saya mulai kebingungan tentang survey kentang ini.
Dieng terbagi dalam dua wilayah administrasi yang berbeda kabupaten, Dieng wetan masuk dalam kabupaten Wonosobo sedangkan sebagiannya lagi masuk dalam kabupaten Banjarnegara. Sejak perjalanan menuju Dieng ini dari Garung Wonosobo, saya tidak melihat banyak tanaman kentang kecuali di Dieng. Di Dieng sendiri pun terlihat tidak terlalu banyak, maksudnya tidak mungkin kentang Di Dieng ini mampu memasok kebutuhan kentang di kota-kota.
Dari salah satu Bandar kentang di Pasar Induk di Jakarta, kami dapat bertemu salah seorang tengkulak di Bantur Banjarnegara, yang tak jauh dari Dieng. Sore itu kami melanjujkan perjalanan ke Bantur dengan terus menuju utara. Perjalanan ini adalah jalur yang jarang dilewati oleh para wisatawan. Bentuk landscape di sini berbukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, namun tidak curam dalam turunnya tingkat ketinggian datarannya.
Jarang ada orang yang berbaju lengan pendek, di sini dingin dan berkabut. Rumah-rumah beratap seng agar tidak terlalu dingin, inilah Banjarnegara. Bukit-bukit seluruhnya bertanam sayur-sayuran, dan hamppir seluruhnya dipenuhi kentang. Sungguh inilah surga kentang yang sesungguhnya, luas sekali areal kentang.
Sampai di Bantur saya bertemu salah satu tengkulak kentang, dia tertawa ketika kami menyatakan bahwa Wonosobo tempat kentang. Dia berkata bahwa saya dibohongi bila ada yang mengatakan kentang berasal dari Wonosobo. Wonosobo di Dieng hanya 30% penghasil kentang, selebihnya milik Banjarnegara. Pemandangan kentang yang saya lihat dari Dieng sampai Bantur ini belum separuhnya areal kentang yang ada di Banjarnegara, kata Bapak tengkulak itu. Nah lu… kenapa yang terkenal justru kentang Wonosobo ? dan gara-gara inilah teman saya menjadi kebingungan dengan skripsinya. Teman saya tidak bisa melihat produktivitas kentang yang dibawa ke Jakarta karena teman saya mengira bahwa kentangnya berasal dari Wonosobo.
Sekitar jam 7 malam kami melintasi Dieng dari Bantur Banjarnegara sampai ke Kota Wonosobo. Satu kata untuk perjalanan ini “ M E N A K J U B K A N”, bintang terlihat jelas dari ketinggian 2000 mdpl di Dieng, asap tenaga Uap seperti bayangan para Dewa. Jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan gunung, pertanian dan permukiman, membuat saya tersihir dalam Genggaman Keindahan Sang Pencipta. Hayalan saya cuma satu, saya ingin ke sini dengan mengendarai mobil sedan bersama Isteri dan anak-anak saya. Kawan, sungguh ingin seperti itu. *susssstttt… sudahlah..
Sampailah saya di alun-alun kota Wonosobo sekitar jam 9 malam, duduk dan melamun menjadi hobi saya ketika berada di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari keluarga dan orang-orang yang biasa dekat dengan saya. Baru sebulan yang lalu saya berkelana di Jogja, dan baru 2 minggu yang lalu saya mendaki Gunung Semeru. Kini harus terbawa romantis dengan alam lagi yang membuat pikiran saya semakin mellow… semakin santai dan tenang. Semakin tidak mengerti akan jalan yang harus saya lalui. Maka semakin autislah saya ini…
Kalau bukan karena terpaksa, saya tidak akan ke sini. Terpaksa karena teman saya butuh bantuan dalam surveinya. Dengan mendadak dia mengajak saya ke Wonosobo, dan baru kali ini saya jalan tanpa persiapan, bahkan baju dan celana untuk salinan saja saya tidak bawa. Tidak tahu dah baunya seperti apa saya itu… walau akhirnya saya beli kaos dan CD.
Hari kedua, kami ke Dieng lagi. Di sini kami mengunjungi beberapa objek wisata diantaranya Telaga Warna dan Kawah. Dengan harga tiket masuk diatas Rp 5.000, serta tukang parkir yang gila duit (masa parkir motor Rp 2.000 ) membuat kami seperti dirampok. Bayangin aja duit saya hanya sisa Rp 100 logam, gila kan? Dan jujur saja kawah dan telaganya biasa-biasa saja. Menurut saya, manajemen Pariwisata di Dieng sangat kacau dan berantakan. Itu membuat orang malas lagi kesana, darimana sumber pernghasilan mereka bila bukan dari pariwisata? Ditambah lagi masalah kesuburan tanah yang terus berkurang karena terlalu sering memakai pestisida ?
Dinas Pariwisata dan Pertanian tidak banyak berbuat di sana, saya lihat mereka berusaha sendiri untuk mendapatkan keuntungan tanpa berfikir masalah ke depan.
Ya sudahlah… keindahan Dieng dihancurkan oleh manusianya.
Sedangkan candi disana adalah candi pewayangan, nama-nama wayang, ceritanya tidak jelas… jadi sulit mengenal Dieng… Teman saya yang asli Wonosobo heran ternyata kentang yang terkenal itu bukan dari Wonosobo. Sekarang saya mengerti kenapa Dosen Pariwisata saya, Bpk Djamang Ludiro melarang kami untuk Kuliah Lapang di Dieng, dulu beliau berkata Dieng biasa-biasa saja dan biaya hidupnya mahal. Ternyata ini benar… maafkan saya ya Pak dulu saya kesa KL tidak jadi di Wonosobo, malah ke Pangalengan… tapi jujur saya tidak pernah menyesal ke Pengalengan, di sana pertanian dan perkebunannya sangat beragam…
Kentang Dieng berciri kulit yang halus, berbuah besar dan tahan lama, membuat kentang ini paling dicari diseluruh pasar kota-kota besar. Tidak seperti kentang Pengalengan yang musim tanamnya tidak sepanjang tahun, karena dipengaruhi curah hujan dan jenis tanah yang berbeda dari Dieng. Tidak pula seperti kentang dari Bromo yang warnanya hitam. Kentang Dieng memang satu-satunya di Negeri ini.
Belum lama saya mendatangi Dieng dengan bermalam di Garung Wonosobo, kali ini saya pergi untuk membantu teman untuk survey penelitiannya tentang pemasaran Kentang Dieng, Wonosobo.
Untuk mengunjungi Dieng dari Wonosobo, kita akan selalu diikuti oleh Gunung Sindoro. Gunung dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl itu terlihat halus dari jalanan yang menghubungkan kota Wonosobo dengan Dieng. Kata sebagian orang di Desa Garung Wonosobo, orang yang pernah mendaki Gunung Sindoro maka keinginannya akan terkabul. Hoooiii… saya sendiri pernah mendaki Sindoro pada tahun 2008, dari gunung tersebutlah saya melihat keindahan Wonosobo dan Dieng.
Sabtu sore saya sampai di Desa Dieng yang sedang hujan deras, maka kedinginanlah saya apalagi saya mencapai Dieng dengan motor tanpa jaket. Seperti apakah dinginnya? Hehe… beristirahalah saya di salah satu warung yang menyediakan minuman hangat. Di sinilah saya mulai kebingungan tentang survey kentang ini.
Dieng terbagi dalam dua wilayah administrasi yang berbeda kabupaten, Dieng wetan masuk dalam kabupaten Wonosobo sedangkan sebagiannya lagi masuk dalam kabupaten Banjarnegara. Sejak perjalanan menuju Dieng ini dari Garung Wonosobo, saya tidak melihat banyak tanaman kentang kecuali di Dieng. Di Dieng sendiri pun terlihat tidak terlalu banyak, maksudnya tidak mungkin kentang Di Dieng ini mampu memasok kebutuhan kentang di kota-kota.
Dari salah satu Bandar kentang di Pasar Induk di Jakarta, kami dapat bertemu salah seorang tengkulak di Bantur Banjarnegara, yang tak jauh dari Dieng. Sore itu kami melanjujkan perjalanan ke Bantur dengan terus menuju utara. Perjalanan ini adalah jalur yang jarang dilewati oleh para wisatawan. Bentuk landscape di sini berbukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, namun tidak curam dalam turunnya tingkat ketinggian datarannya.
Jarang ada orang yang berbaju lengan pendek, di sini dingin dan berkabut. Rumah-rumah beratap seng agar tidak terlalu dingin, inilah Banjarnegara. Bukit-bukit seluruhnya bertanam sayur-sayuran, dan hamppir seluruhnya dipenuhi kentang. Sungguh inilah surga kentang yang sesungguhnya, luas sekali areal kentang.
Sampai di Bantur saya bertemu salah satu tengkulak kentang, dia tertawa ketika kami menyatakan bahwa Wonosobo tempat kentang. Dia berkata bahwa saya dibohongi bila ada yang mengatakan kentang berasal dari Wonosobo. Wonosobo di Dieng hanya 30% penghasil kentang, selebihnya milik Banjarnegara. Pemandangan kentang yang saya lihat dari Dieng sampai Bantur ini belum separuhnya areal kentang yang ada di Banjarnegara, kata Bapak tengkulak itu. Nah lu… kenapa yang terkenal justru kentang Wonosobo ? dan gara-gara inilah teman saya menjadi kebingungan dengan skripsinya. Teman saya tidak bisa melihat produktivitas kentang yang dibawa ke Jakarta karena teman saya mengira bahwa kentangnya berasal dari Wonosobo.
Sekitar jam 7 malam kami melintasi Dieng dari Bantur Banjarnegara sampai ke Kota Wonosobo. Satu kata untuk perjalanan ini “ M E N A K J U B K A N”, bintang terlihat jelas dari ketinggian 2000 mdpl di Dieng, asap tenaga Uap seperti bayangan para Dewa. Jalan yang berkelok-kelok dengan pemandangan gunung, pertanian dan permukiman, membuat saya tersihir dalam Genggaman Keindahan Sang Pencipta. Hayalan saya cuma satu, saya ingin ke sini dengan mengendarai mobil sedan bersama Isteri dan anak-anak saya. Kawan, sungguh ingin seperti itu. *susssstttt… sudahlah..
Sampailah saya di alun-alun kota Wonosobo sekitar jam 9 malam, duduk dan melamun menjadi hobi saya ketika berada di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari keluarga dan orang-orang yang biasa dekat dengan saya. Baru sebulan yang lalu saya berkelana di Jogja, dan baru 2 minggu yang lalu saya mendaki Gunung Semeru. Kini harus terbawa romantis dengan alam lagi yang membuat pikiran saya semakin mellow… semakin santai dan tenang. Semakin tidak mengerti akan jalan yang harus saya lalui. Maka semakin autislah saya ini…
Kalau bukan karena terpaksa, saya tidak akan ke sini. Terpaksa karena teman saya butuh bantuan dalam surveinya. Dengan mendadak dia mengajak saya ke Wonosobo, dan baru kali ini saya jalan tanpa persiapan, bahkan baju dan celana untuk salinan saja saya tidak bawa. Tidak tahu dah baunya seperti apa saya itu… walau akhirnya saya beli kaos dan CD.
Hari kedua, kami ke Dieng lagi. Di sini kami mengunjungi beberapa objek wisata diantaranya Telaga Warna dan Kawah. Dengan harga tiket masuk diatas Rp 5.000, serta tukang parkir yang gila duit (masa parkir motor Rp 2.000 ) membuat kami seperti dirampok. Bayangin aja duit saya hanya sisa Rp 100 logam, gila kan? Dan jujur saja kawah dan telaganya biasa-biasa saja. Menurut saya, manajemen Pariwisata di Dieng sangat kacau dan berantakan. Itu membuat orang malas lagi kesana, darimana sumber pernghasilan mereka bila bukan dari pariwisata? Ditambah lagi masalah kesuburan tanah yang terus berkurang karena terlalu sering memakai pestisida ?
Dinas Pariwisata dan Pertanian tidak banyak berbuat di sana, saya lihat mereka berusaha sendiri untuk mendapatkan keuntungan tanpa berfikir masalah ke depan.
Ya sudahlah… keindahan Dieng dihancurkan oleh manusianya.
Sedangkan candi disana adalah candi pewayangan, nama-nama wayang, ceritanya tidak jelas… jadi sulit mengenal Dieng… Teman saya yang asli Wonosobo heran ternyata kentang yang terkenal itu bukan dari Wonosobo. Sekarang saya mengerti kenapa Dosen Pariwisata saya, Bpk Djamang Ludiro melarang kami untuk Kuliah Lapang di Dieng, dulu beliau berkata Dieng biasa-biasa saja dan biaya hidupnya mahal. Ternyata ini benar… maafkan saya ya Pak dulu saya kesa KL tidak jadi di Wonosobo, malah ke Pangalengan… tapi jujur saya tidak pernah menyesal ke Pengalengan, di sana pertanian dan perkebunannya sangat beragam…
No comments:
Post a Comment