Foto: Masjid Raya Baiturraham, Banda Aceh. May 2014 |
Ombak itu, menyeretku pada sebuah senyuman yang semerbak pada awan…
Pasir putih mengantarkanku pada mata yang tertata rapih pada malam…
Pada bintang yang tertegun akan silaunya….
Foto: Aceh bagian barat laut |
Duduk di atas bambu saung tepi pantai, memandang luas biru laut dan langit, di pagari bukit-bukit dan gunung terjal. Aku meresap pada jiwa satu yang memecah karang-karang, ku genapkan emosi yang dulu pergi ke atas langit. Pada muakku dari suara-suara yang membosankan, yang saling menghujat tanpa sadar bahwa kita semua manusia.
Gelombang riak, memandikan alam, memanjakan manusia, memanjakan pria dan wanita. Sanggahan kelam tak menyisakan amarah, terbang bersama angin raja.
Aceh, dengan segala perjalanannya, membentuk suatu sejarah peradaban. Negeri ini bicara alam yang begitu bernyawa, negeri ini bicara Tuhan yang begitu abadi, negeri ini bicara hukum yang tertata, negeri ini bicara bahwa keangkuhan akan mudah dilenyapkan, bila alam sudah ingin melenyapkannya.
Foto: Pantai Lampu'u, Aceh |
Pantai Lampu’u yang dahulu pernah dilanda tragedi alam Tsunami kini asri kembali, pantai ini menjadi saksi betapa dahsyatnya alam. Keindahanya telah dikembalikan, agar semua dapat melihat kebesaran Raja yang sesungguhnya. Aku tunduk, sungguh tiada kepantasan bagiku untuk sombong.
Aceh, mengembalikan manusia untuk kedamaian, menyisakan makanan dan minuman yang mendunia. Kopi atjeh seperti pedang tak bertuan, menjadi senjata dalam percakapan dan keseharian, rasa dan aromanya memabukan dan mencandukan, sungguh dalam rasanya. Kopi aceh membawaku pada diam, berfikir lebih dalam…
Aceh menyisakan bidadari-bidadari yang senyumnya hanyut di kepala, matanya mampu membuat sultan-sultan tunduk. Damaiku di bumi itu, aku tidak ingin kembali, aku ingin tetap di situ… aku ingin tetap di situ….
Foto: Kopi Atjeh |