Sunday, October 6, 2019

Sepertinya rejeki manusia sama

Entah apa saya saja yang merasa bahwa manusia sepertinya memiliki rejeki yang sama satu dengan yang lainnya, tentunya sudah di Takdirkan oleh Sang Pencipta dengan Keadilannya yang setinggi-tingginya.

Hal ini terasa ketika saya berada di luar kota Jakarta, seperti di Aceh dan Kalimantan akhir-akhir ini bahkan mungkin hampir sama di wilayah di luar Pulau Jawa. Di sana kita tidak dikejar waktu, sunggu tak dikejar waktu, masyarakat memiliki waktu yang panjang dalam bernafas dan beraktifitas. Seperti siang hari, sebagian yang berkerja di kantor bisa pulang ke rumah untuk makan siang dan menjemput anak sekolah, hey… santai sekali mereka..

Mereka tidak perlu cepat-cepat menjalani hidup, dan mereka tidak perlu keras-keras mencari uang untuk pergi ke Mol seperti di Jakarta, karena memang Mol disana tidak ada atau masih jarang, sehingga standar kebahagian mereka dengan penduduk metropolitan begitu berbeda.

Bayangkan betapa nyamanya menjadi mereka, santai dan cukup bahagia. Di sini, di Jakarta mungkin kita harus berlarut-larut dan bertarung dalam kecepatan dalam mendapatkan skill dan pendapatan, jika tidak maka tersingkir. Kita tidak pernah memikirkan makan siang bersama keluarga, bahkan makan pagi dan malam bersama keluarga pun jarang karena kita mencari-cari harta begitu keras. Padalah bisa jadi itu tidak begitu berharga untuk sebagian orang yang sudah cukup bahagia dengan banyak waktu untuk bercanda, berkeluarga dan tertawa bersama alam, bukan hanya sekedar di depan laptop.

Lalu saya menyimpulkan sepertinya rejeki manusia itu sama, dan hanya menunggu gilirannya mendapatkan lebih, dan kurang.

Wednesday, June 26, 2019

Putaran yang tak berputar…

Pernahkah anda melihat sesuatu yang terbalik dari logika?
Seperti matematika yang tidak bisa menjawab cinta
Atau seperti langit yang tak terlihat ujungnya
Di sana lah semua kata kita bermuara

Pernahkan anda mendengar sesuatu yang tak terucap dalam kata?
Seperi angin yang berhembus seketika
Atau seperti hentakan dalam jiwa
Di sana lah keinginan berbicara

Teman…
Pernahkah anda dalam suatu putaran yang tak berputar?
Yang gelapnya pekat dan sunyinya henyap
Dan tak bisa diputar-putar
Saya menyebutnya sesuatu yang sulit sekali dirubah
Atau mungkin tidak bisa dirubah
Seperti korupsi-korupsi bid’ah yang dianggap hasanah
Memberi amplop disangka hasanah
Meminta amplop disangka hasanah
Di Negeriku.. Korupsi dianggap hasanah

Daydeh, 26 Juni 2019

Tuesday, June 11, 2019

Sudah Selesai (fase hidup)

Manusia memiliki fase jalan hidup masing-masing yang berbeda-beda, dan juga memiliki peran hidup yang berbeda pula. Tidak hanya itu, bahkan fase atau tahapan tumbuhnya kedewasaan manusia pun berbeda pula, ada yang dewasa di umur 25 tahun, ada yang di 30 tahun, ada yang di 25 tahun dan ada juga yang di 40 tahun. Kedewasaan yang dimaksud adalah kedewasaan berfikir, mau mengambil resiko dan bertanggung jawab seperti pernikahan, atau mau meninggalkan hal-hal yang sia-sia, atau bisa juga dikatakan fase metamorfosis dimana seseorang berkeinginan keras dan benar-benar konsisten memilih hidup untuk menjadi lebih baik dengan meninggalkan yang tidak baik. Dan bisa jadi dalam proses metamorfosis ini banyak fase yang harus dilalui.

Begitupula dengan saya, sebagai anak band, anak gunung dan intelektual (katanya) yang memiliki banyak sekali teman, meninggalkan dunia seperti itu rasanya berat dan akhirnya saya tidak pernah meninggalkan kebiasaan tersebut sampai akhirnya ada di fase dimana saya tidak bisa lagi ngeband dan naik gunung, karena ada bayi yang sulit sekali ditinggalkan karena sayangnya kita kepada keluarga kecil. Tentunya sebagai anak yang mudah bergaul dengan siapa saja, bahkan sakin welcame-nya apa saja dan siapa saja bisa masuk. Entah itu hal yang positif maupun negatif keduanya bisa masuk ke saya.

Lambat laun, kejadian demi kejadian pengalaman hidup akhirnya membawa saya sampai disini, dan akhirnya kita harus memilih. Memilih untuk tetap menjalankan apa saja termasuk yang negatif atau meninggalkannya. 

Kalau boleh saya evaluasi diri, di usia yang sudah menginjak umur 33 tahun dengan satu istri dan dua anak, saya masih belum terlambat untuk berbuat banyak hal yang lebih membawa kebaikan di dunia ini. Dengan ilmu dan kemampuan yang saya miliki, saya memiliki potensi untuk berbuat baik di dunia, bahkan bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi siapa saja.

Tapi sejarah mengatakan, ada salah satu syarat untuk kita agar bisa menjadi inspirasi dalam berbuat kebaikan. Yaitu meninggalkan yang negatif dan tidak melakukannya kembali. Fase inilah yang sedang saya lalui, jangan sampai gara-gara hal negatif yang kecil maka kita tidak bisa menjadi baik dan bermanfaat untuk orang lain.

Oleh karena itu saya harus berani menjalankan fase ini dan mengatakannya “Sudah Selesai”, ya  saya ikhlas dan sudah selesai memberikan celah negatif masuk kedalam tubuh, dia harus mental jauh dan tak kembali, serta menjadi pelajaran pada masanya.   

Thursday, May 23, 2019

Hamzah RA dan Para Wali Songo

Foto: Makan Hamzah Ra dan Lokasi Perang Uhud
Hati saya bergetar kencang di sebuah tanah yang di kelilingi bukit-bukit berbatu, di sinilah tempat nyata sejarah Nabi Muhammad SAW bersama pamannya yang bernama Hamzah RA bin Abdul-Muththalib. Paman Rassullallah ini wafat saat bertempur dalam perang Uhud. Saya dan seluruh orang dari penjuru dunia melihat makamnya yang dipagari besar karena diperkirakan disana ada makam-makam lainnya yang juga gugur saat perang Uhud. Lalu kami panjatkan doa kepadanya yang dijuluki “Asadullah” atau “Singa Allah”.

Saya dan seluruh orang yang datang berziarah ke Makam Hamzah Ra, berdoa untuknya karena perjuangannya bersama Rasullallah dalam memperjuangkan dan menyebarkan Islam. Hati saya semakin bergetar kencang, MasyaAllah… perang Uhud ini merupakan perang yang diabadikan dan diceritakan oleh Kitab Suci Al Qur’an. Allhamdulillah, Karena melihat ini secara langsung, saya semakin yakin dengan Al Qur’an.

Tiba-tiba saya teringat dengan negara saya Indonesia, negara ini dibanding negara-negara di dunia lainnya yang penduduknya mayoritas Islam, Indonesia sangat jauh dari tanah Arab tetapi paling besar jumlah penduduk Islamnya. Hebat sekali Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, apalagi negaranya besar dan berbentuk kepulauan. Saya kagum dengan orang-orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia, Sangat kagum.

Mereka adalah para Wali Songo, yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka hampir terlupakan oleh bangsa ini, bahkan mungkin ada yang tidak mempercayainya. Tetapi ingat, makamnya ada dan nyata bersebaran di Pulau Jawa.

Mereka mengenalkan Islam dengan cara yang sangat halus tanpa ada kekerasan. Bahkan dengan seni dan teknologi mereka mengikat masyarakat yang akhirnya banyak yang masuk Islam, mereka para wali merupakan orang-orang cerdas dan pintar pada masanya, yang dicintai masyarakat.

Jika ada wali songo yang membawa Islam masuk ke Nusantara ini, dan berjuang mengenalkan peradaban Islam yang begitu indah. Apakah para wali ini tidak pantas untuk didoakan seperti Hamzah RA, atau seperti sahabat-sahabat Rasullallah yang menegakan Islam. Apalagi para wali songo ini merupakan keturunan Rasullallah SAW. Saya diam dan teringat itu semua saat saya pas berada di lokasi terjadinya perang Uhud.

Lalu pertanyaan selanjutnya, siapa Ulama-ulama di Negara Indonesia ini yang memuliakan juga para wali, yang juga mendoakan wali songo tersebut? Siapa ulama yang cara menyebarkan Islam seperti para wali? Dengan kelembutan, intelektual dan tidak dengan kekerasan.

Saya diam dan terus bertanya pertanyaan tersebut dalam hati…

Wednesday, May 8, 2019

Umroh bersama dua bayi kecil (part 2)

Foto: Ka'bah dan Makam Nabi Ibrahim AS
“Labbaika Allahumma labbaik, labbaika laa syariika laka labbaik, innalhamda wanni’mata laka wal mulka laa syariika laka”

Artinya:
“Aku datang memenuhi panggilanmu Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan, dan segenap kekuasaan  adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Foto: Umroh pertama
Malam hari sekitar jam 10an kami berjalan kaki dari hotel di jalan Ajyad menuju Masjidil Haram bersama-sama rombongan, dan tentu saja anak kami bawa meskipun mereka dalam keadaan kurang baik. Lantunan Dzikir menggema di hati, mengagungkan Allah SWT, mengembalikan kita sebagai manusia yang merupakan Ciptaan-Nya. 

Saya merasa sangat kecil seperti setetes air di lautan, bahkan lebih kecil dari air tetesan tersebut. Apapun yang didapat manusia, baik kekayaan, jabatan, kekuasaan, ketampanan, kepintaraan intelektual, kepintaran religius, dan apapun itu semuanya merupakan pemberiaan Allah SWT. Segala kenikmatan di dunia yang didapatkan itu bukan untuk apa-apa, bukan untuk kesenangan semata, bukan untuk bertahan hidup semata, bukan untuk bekerja semata, bukan untuk menjalani hidup semata. Namun, itu semua tidak lain merupakan sebuah perjalanan menuju kematian, dan adalah Islam yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad SAW yang mewariskan sebuah petunjuk kepada umatnya melalui Kitab Suci Al Qur’an dan Hadist-Hadist. Islam memberikan gambaran dan petunjuk paling jelas bahwa kita sebagai manusia akan berlanjut di kehidupan selanjutnya setelah kematian di dunia.

Keyakinan itu membuat saya ingat akan dosa-dosa, Astagfirullah…

Saya ada rasa bersalah dan takut datang mendekati Ka’bah yang merupakan Kiblat Sholat umat muslim, “saya malu datang dalam keadaan kotor…”. Tapi saya berusaha ingat bahwa Allah SWT sangat luas ampunannya, bahkan bila dosa itu setinggi langit.
Pertama kali lihat Ka’bah, Masyaallah….

Tidak ada kalimat-kalimat yang bisa tertulis saat melihat Ka’bah dan melakukan rukun-rukun Umroh. Tawaf dengan mengelilingi Ka’bah, Sa’i dengan berbolak balik dari Bukit Safa dan Marwah, lalu memotong rambut. Setelah melakukan kewajiban rukun-rukun Umroh, ada rasa bahagia dan sedih. 
Foto: Setelah Tawah Wada (perpisahan)
Saya merasa sangat bahagia menjalankan ibadah Umroh ini, dan saya sangat bahagia memeluk agama Islam ini, setidaknya saya tahu tujuan hidup saya, yaitu meninggal dunia dalam keadaan Khusnul Khotimah. Alhamdulillah... rasa bahagia terus terasa karena saya datang bersama isteri dan kedua anak kami yang masih bayi. Dan saya tidak menyangka ternyata kebahagiaan di tempat ini sulit dituliskan dengan kalimat-kalimat. 
Foto: Bareng Om Sidik
Di Mekkah saya bertemu dengan sepupu saya bernama Sidik yang merupakan sepupu laki-laki paling dekat darahnya dari keluarga Ibu saya, kata beliau "Sebenarnya Sidik banyak tawaran kerja di beberapa negara seperti di Qatar, Abu Dhabi, dll, tapi hati maunya kerja disini, di Mekah".

Masyaallah, sudah 8 tahun bekerja di Mekah dan lokasinya pas di depan Masjidil Haram, kecintaannya pada kota ini membuatnya terus memilih disini, mungkin karena keutamaan tempatnya sehingga dengan Doa-doanya dapat membantu seluruh sodara-sodaranya yg di Indonesia. 

"Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). 
Foto: Jabal Rachmah
Adapun rasa sedih datang karena saya harus kembali ke Tanah Air, dimana saya merasa disini masih sulit untuk dapat hidup yang jauh dari bersih, di Tanah Air korupsi masih meraja lela sampai dibagian paling hilir dari pejabat tingkat tinggi sampai pejabat paling rendah, lalu yang tidak memili jabatan ikut-ikutan tanpa ada rasa malu.

Saya belajar pada Ibadah Umroh dan saya belajar pada cara mulianya berwudhu, dimana Wudhu mengajarkan untuk membersihkan tangan, mulut, hidung, mata, wajah, telinga dan kaki, tentunya bukan fisiknya saja yang dibersihkan tetapi masuk ke akhlak dan mata hati. Wudhu mengajarkan untuk senantiasa selalu membersihkan tangan dari pemberian yang tidak halal, mulut agar tidak berkata yang buruk dan kasar, hidung tidak mencium yang haram, mata tidak melihat yang haram, telingan tidak mendengan yang buruk, dan kaki tidak melangkah ke jalan yang sesat. Karena hidup cuma sekali ini di dunia, semoga tidak salah langkah.

Bismillahhirohmanirrohim… 
Bismillahi Allahu Akbar…

Monday, May 6, 2019

Umroh bersama dua bayi kecil (part 1)

Alhamdulillah… kata-kata ini selalu hadir di bibir dari sejak sampai di Bandara Soekarno-Hatta menuju Jeddah, ada rasa bahagia dan ada rasa sedih. 
Foto: Perjalanan dari Bandara Soeta 20/4/2019
Saya merasa bahagia karena tanpa rencana panjang, tiba-tiba kami ada di Tanah Para Nabi, dan tentunya kebahagian itu memuncak karena saya ditemani oleh isteri dan kedua anak kami yang usianya baru 3 bulan dan 2 tahun 3 bulan, dan syukur pula adik saya ikut sehingga kami bisa satu kamar sekeluarga di hotel.

Sementara itu saya pun merasa sedih karena datang kesini masih dalam keadaan kotor, tidak bersih hati dan kelakukan. Tentunya banyak sekali dosa-dosa yang saya lakukan selama hidup, dan saya sendiri tidak yakin apakah dosa-dosa tersebut dapat diampuni oleh Allah SWT. Dan sedih inipun menjadi-jadi karena saya datang ke Tanah yang paling Suci, Kota Madinah dan Kota Mekkah. 
Foto: Masjid Quba, Madinah
Pertama kali sampai subuh di Madinah kami Sholat di Masjid Quba karena tidak kekejar solat di Masjid Nabawi. Melihat masjid ini di waktu subuh dengan lampu yang sederhana dan bangunan yang elegan serta burung-burung yang berterbangan membuat anak pertama kami Lintang Matadiraya melek dan terkejut, ya dia senang dengan burung merpati. Masjid ini merupakan Masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW, dan memiliki keutamaan.

Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang telah bersuci (berwudhu di rumahnya), kemudian mendatangi Masjid Quba lalu shalat di dalamnya dua rakaat, maka baginya sama dengan pahala umrah." (Sunan ibn Majah, no 1412).
Foto: Masjid Nabawi, Madinah
Di waktu duha atau sekitar jam 10an pagi, kami diantar ustad sebagai guide kami, ke Masjid Nabawi. Kami diajak ke tempat paling dijabah doanya di Masjid ini, yaitu Raudhah atau Taman Surga. Saya membawa anak pertama si Lintang, dan isteri saya membawa adiknya si Raia. Saya pikir masuk ke Raudhah akan mengantri berdesak-desakan, ternyata membawa anak kecil bisa langsung masuk lewat jalur khusus tanpa berdesakan. MasyaAllah… saya sangat terkejut, Raudhah menjadi tempat pertama saya dan Lintang sholat dan berdoa di Masjid ini. 

Rasulullah SAW bersabda, “Tempat yang di antara rumahku dan mimbarku adalah raudhah (taman) di antara taman-taman surga.” (HR. Bukhari).
Foto: Lintang Matadiraya mau Sholat
Aura di sini sangat berbeda, beda sekali, selain Masjid Nabawi yang memiliki keutaman namun di Raudhah ini dijanjikan langsung oleh Rasulullah SAW menjadi salah satu tempat paling dikabulkan doanya. Di sini, air mata kita sebagai manusia mudah sekali jatuh, MasyaAllah… ya mudah sekali apalagi buat manusia yang bergelimpangan dosa-dosa seperti saya. Dan entah mengapa rasanya dekat sekali dengan Allah SWT.

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “seandainya kalian berbuat dosa sehingga tumpukan dosa itu setinggi langit kemudian kalian benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubat kalian.” (Shahih Ibnu Majah).
Foto: Jabal Uhud, Madinah
"Jika kita hendak melihat bukit yang terdapat di surga, maka ziarahlah ke Bukit Uhud. Nabi SAW bersabda, 'Bukit Uhud ialah salah satu dari bukit-bukit yang terdapat di surga'," demikian hadis yang diriwayatkan HR Bukhari.

Kami pun diajak melihat jejak-jejak Rasulullah SAW di Kota Madinah, melihat jejak perang Uhud yang selama ini hanya tahu dari Kitab Suci Al Qur’an. Serta kami Miqat atau niat Umroh dan berihram di Masjid Bir Ali di Madinah. Dari Bir Ali kami berangkat ke Mekah untuk melakukan Rukun Umroh selanjutnya. Selama perjalanan kurang lebih sekitar 4 sampai 5 jam ke Mekah dari Bir Ali, pemandangan yang kita lihat hanyalah padang pasir dan gunung-gunung berbatu. Kata ustad kami, Rasulullah SAW dulu umrohnya dengan berjalan kaki dan ditemani Unta. Begitu beratnya perjuangan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW dalam menegakkan Agama Allah SWT sampai harus berhijrah ke Kota Madinah dari Mekah karena diancam dibunuh, lalu ketika sudah kuat pengikutnya beliau datang kembali ke Mekah dengan berbondong-bondong demi menegakkan kebenaran. 
Foto: Miqot di Masjid Bir Ali, Madinah
Segala hal yang diceritakan dalam Hadist dan Kitab Suci Al Quran sangat-sangat jelas dan terasa oleh kita yang berziarah ke Tanah Suci ini. Bahkan saya merasa seperti melihat Al Qur’an dan kebenaran jejaknya, padahal saya baru di Kota Madinah dan Mekkah saja, belum yang lainnya.  

Wednesday, April 3, 2019

Tentang Keberanian Memilih Jalan

Jika kita dikasih dua pilihan antara membuat nasi goreng yang sudah ada resepnya dengan nasi goreng belum ada resepnya, kira-kira kita akan memilih apa?

Saya sepakat jika membuat nasi goreng yang sudah ada resepnya itu jauh lebih mudah daripada membuat nasi goreng yang belum ada resepnya, bahkan jika resepnya itu sangat laku untuk dijual maka kita bisa untung. Tetapi, jika kita membuat nasi goreng yang belum ada resepnya tentu saja hasilnya bisa lebih enak atau kurang enak. Jika nasi goreng yang belum ada resepnya ternyata bisa lebih baik dari nasi goreng yang sudah ada resepnya maka kita melakukan sesuatu diluar yang biasa.

Melakukan sesuatu hal yang diluar kebiasaan inilah disebut keberanian memilih jalan, hal inilah yang dilakukan oleh para startup anak-anak muda milenial yang akhirnya banyak merubah cara sistem bekerja dari cara-cara lama menjadi cara baru yang membuat biaya semakin efektif dan pekerjaan menjadi mudah, atau yang dikenal dengan industri 4.0. 

Orang-orang yang memilih bekerja sesuai sistem yang ada seperti di perusahaan-perusahaan besar atau di kalangan pegawai negeri sipil, merupakan wujud cerminan cara hidup dalam keberanian memilih jalan. Orang-orang seperti ini lebih memilih kenyamanan dalam hidup ketimbang membuat usaha baru yang resikonya lebih besar. Memang tidak ada salahnya memilih jalan seperti ini.

Masalahnya, pesatnya perkembangan teknologi membuat satu persatu cara-cara lama tergantikan dengan cara baru. Tinggal kita, seberapa berani memilih jalan. Apa kita memilih menjadi penonton, dengan membiarkan para startup tumbuh dan merubah sistem. Atau kita memilih menjadi bagian yang merubah sistem.
Gambar: Konvensional yang mudal dilakukan dan Secrets yang sulit dilakukan (Zero to One)

Saya dan beberapa teman sebagai anak-anak lulusan geografi akhirnya memilih berani membangun perusahaan, dan berkomitmen untuk menjadi bagian yang akan merubah sistem yang lama. Bahkan teman saya ada yang tadinya pegawai negeri sipil dari kementrian yang populer, kini memilih berjuang dengan saya untuk menjadi perubah sistem lama.

Untuk Adik Gaza

 Adik, kamu kuat di sana Rambutmu berdebu wangi surga Getaran jari tanganmu dan keringnya kulitmu adalah cinta dari Tuhan yang Maha Besar He...