Tuesday, April 29, 2008

setelah pulang dari pacitan

Pagi itu kembali normal, dari jendela aku melihat mobil dan motor tersebar di jalan-jalan raya. Kereta ekonomi mengingatkan aku, bahwa aku kembali ke dunia ku yang selama seminggu di curi oleh Pacitan. Jam 7.30 sampai di geografi, aku ke kostan si Roji dengan sepeda. Aku bersihkan kotoran di tubuh ku di sana. Rasanya sangat segar setelah mandi, aku siap menghadapi dunia ini.

Jam 11.30 aku sampai di rumah ku di kawasan kumuh menteng dan Manggarai. Hari ini hari jum’at, aku langsung pergi ke Masjid. Di teras luar masjid aku melihat ada mayat yang di tutupi kain batik cokelat. Aku mengambil tempat posisi di dalam Masjid saat khutbah berlangsung. Mata ku terkantuk-kantuk karena kelelahan. Tiba-tiba saat ku lihat di Masjid, mengapa aku sendiri di dalam Masjid ini, dan mayat itu mengapa ada di depan ku, tepat di depanku adalah bagian kepala mayat. Aku tersentak dan ternyata aku ketiduran, mayat itu ternyata tetap ada di luar jendela, tak berubah, masih di belakang ku. Karena mimpi itu, aku langsung berniat akan menyolatinya nanti setelah shalat Jum’at, tapi hati masih bertanya, siapakah orang itu.

Aku sungguh menikmati perjalanan kuliah lapang kali ini, aku senang berjalan dengan kelompok ku yang ternyata mempunyai sifat unik tersendiri. Tak henti-hentinya aku bersyukur bisa merasakan semua ini, bersyukur juga bisa masuk geografi UI. Beberapa semester lagi aku akan skripsi agar gelar itu kuraih dan aku akan mendapatkan pekerjaan, setidaknya tidak menjadi tukang cuci piring di restoran atau menjadi office boy, karena aku nanti bergelar S1 dari Universitas Indonesia.

Setelah shalat mayit, aku di kasi tahu oleh teman ku bahwa yang meninggal itu adalah ........, ia adalah teman ku yang tinggal tak jauh dari rumah ku, aku sering bermain bola dengannya saat aku belum terlalu sibuk seperti sekarang ini. Meninggal secara tragis. Kata Ibu ku, ia meninggal dengan memotong sendiri urat nadinya, ia ingin kerja sebagai ojek dan meminta dibelikan motor, tapi ibunya tak bisa membelikannya, akhirnya ia nekat mengingkari amanah Tuhan. Badan ku tergeletak lemas di dinding rumah, kebahagian ku yang tadi seperti tak ada artinya. Memang keluarga almarhum itu tidak bersekolah sejak SD, sehingga ngelamar menjadi apapun terasa sulit. Cepat sekali berubah. Aku merasa bersalah, aku kebanyakan sekolah sampai tak bisa membantu teman-teman ku di sini. Untuk apa aku kuliah jika tak sedikitpun dapat memberi solusi di kampung ku ini.

No comments:

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...