Wednesday, June 20, 2012

Ilmu itu punya siapa?

Percakapan tadi malam begitu runyam, banyak rempah-rempah sehingga menghasilkan suatu rasa yang menurut saya sungguh berat. Sebuah diskusi dengen tensi dan intonasi yang terus menerus meninggi, mengkeritisi atas dasar ilmiah dan empiris. Saya hadir ditengah-tengah orang dengan gaya berfikir diatas rata-rata. Saya diam saja, karena tidak tahu apa yang harus saya ceritakan. Di situ ada orang yang saya kagumi sampai saya tidak ingin ketinggalan sedikitpun kalimatnya, karena menurut saya kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah ilmu. Namun, ada juga orang di situ yang pendapatnya tidak saya setujui tapi tetap saya dengarkan karena itu juga ilmu.

Kami membicarakan sebuah ilmu dalam tongkrongan nyantai sambil ditemani kopi dan beberapa minuman yang kami sukai masing-masing yang akhirnya ditutup dengan makanan berat sebelum pulang.  Ilmu akademis dan politis keluar dari masing-masing orang seperti petir yang bersambar-sambar, cerita-cerita empiris terlontar untuk mengkuatkan dasar. Intinya Ilmu dan uang seperti senjata dan benteng-benteng kehidupan.

Saya jadi ingat seorang pembicara tentang gaya hidup wanita di sebuah aula, saya yang sedang melewati aula itu dan tidak mengikuti acaranya tiba-tiba mendengarkan pembicara sebentar sambil berjalan. Tentang kebutuhan dan keinginan. Katanya, kita bisa hidup sehat bila memperhatikan kebutuhan karena kebutuhan ada batasnya, sedangkan bila terus mengikuti keinginan maka tidak ada habisnya dan bahkan akan membawa bencana dan stress pada diri kita. Saya hanya mendengarkan kalimat itu, namun kalimatnya lumayan berarti.

Orang yang saya kagumi dalam tongkrongan kami ini adalah dosen saya dulu, dosen yang gaul bersahabat dan sederhana dalam berfikir. Teman saya bertanya kepadanya mengapa kita harus belajar Australia dan Asia padahal kita Indonesia, sedangkan dunia kerja itu tidak dipakai. Dalam hati saya menebak bahwa si dosen ini pasti akan menjawabnya dengan permisalan, karena dulu saat kuliah selalu saja seperti itu. Dugaan saya itu benar…

“Bila kita ingin mengetahui sebuah gelas, apa yang harus kita pelajari”, dosen itu menjawab. Saya senyum-senyum sendiri, teman saya bingung ditanya balik. “ya kita harus mempelajari dengan jelas gelas itu sendiri” dosen itu langsung menyambar teman saya yang kebingungan, dia pun melanjutkan “untuk bisa lebih mempelajari gelas maka kita juga butuh mempelajari piring.” Nah saya tambah bingung dan senyum-senyum sendiri. “artinya untuk mempelajari sesuatu hal, perlu mempelajari hal-hal yang sejenis dengannya sebagai perbandingan, perbandingan ini jangan yang terlalu jauh. Jangan membandingan gelas dengan penggorengan.”
Mempelajari Indonesia akan sangat sulit bila membandingkannya dengan Afrika, oleh karena itu mempelajari Australia dan Asia dinilai tepat agar kita dapat mengetahui bagaimana Indonesia itu sendiri. Jawaban yang cukup membuat saya puas.
                                                                             …
Saya ingat sekali, ketika saya dinyatakan lulus saat sidang kuliah. Semua dosen di dalam ruangan berpesan kepada saya agar saya jangan sombong setelah ini. Entah mereka hanya berkata kepada saya saja atau seluruh mahasiswa yang baru lulus saat sidang. Hmmmm…. Saya rasa kesemua mahasiswa mereka berkata seperti itu.

Tapi saya sangat setuju dengan hal itu… Ilmu bukan untuk dibangga-banggakan dan bukan untuk meninggikan diri. Jadi… saya harus mengingatkan diri sendiri agar saya tidak membangga-banggakan diri, tidak sombong dan tidak merasa bahwa saya hebat. Karena saya harus ingat bahwa ilmu itu punya siapa? Ilmu yang katanya seperti lautan, dan yang manusia bisa hanya seperti seekor lalat yang menyentuhkan salah satu kakinya ke permukaan laut.

No comments:

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...