Wednesday, January 23, 2008

kecemburuan dan realitas

Dunia ini seperti serigala yang diam-diam mengumpat melihat manusia yang sedang berjalan di tengah hutan, atau seperti mata-mata untuk keamanan negara yang selalu mengawasi setiap ada masalah. Setiap orang yang dihadapinya selalu penuh was-was takut yang dihadap membawa senjata tajam mematikan, atau takut mahkota di kepalanya direbut hingga ia tak lagi mempunyai apa-apa. Dan jika hidup seperti itu maka dunia tak lain adalah sebuah kecemburuan, dan kini di depan komputer ini aku merasa cemburu yang paling dalam seperti Adam ingin menemukan Hawa, atau sang tikus yang ingin merebut keju dalam film Tom and Jerry.

Lebih dari 20 tahun aku merindukan tanah kelahiranku, Purbalingga, daerah yang tenang dengan pemandangan gunung Slamet yang alami menjadikan rindu dalam hati ini semakin berapi-api saat GMC memutuskan perjalanan kali ini akan ke G. Slamet, 24,25,26 & 27 Januari 2008. Tanpa ragu dan bimbang sedikitpun aku langsung bilang kepada ketua perjalanan "aku ikut!" ini adalah ajang penuntasan kerinduan terbesar sepanjang kehidupan ku karena semenjak aku lahir di Desa Kasih Purbalingga, sampai saat ini aku belum pernah melihat bentuk dan landscape di desa yang tenang tersebut. Kata ibuku "kamu lahir di desa kasih Purbalingga selama 40 hari, setelah itu dibawa ke Jakarta," rasanya aku ingin remuk dan muntah jika di sekolah saat aku SD dan SMP ada guru yang menanyakan tempat lahirku, karena aku tak tahu seperti apa tempat itu dan aku malu jika menyebut tempat kelahiranku, rasanya aku anak kampungan dan kuno.

Tapi seiring bertambahnya usia hingga realitas hidup mengatakan bahwa dunia semakin sulit dan kacau akibat penduduk di kota semakin padat dan sulit mendapat pekerjaan, lalu kejahatan semakin merajalela, di mana-mana pembunuhan, dimana-mana pemerkosaan, maka kecintaan aku pada ketenangan semakin membludak, aku ingin menyendiri dengan suara-suara alam yang banyak mengajariku bahwa bahagia ada pada jiwa yang bersyukur. aku, semakin senang pada tanah kelahiranku yang hampa di kepalaku, terlebih sebelum aku kuliah, aku bertemu dengan pengamen yang mengatakan bahwa Purbalingga sangat indah dan ia pergi kesana karena sekalian lewat jalur di Purbalingga untuk ke Puncak slamet, dan Purbalingga inipun masuk di sebuah Novel Edensor karya Andrea Hirata, Novelis yang sangat membanggakan bagi Negeri Kita kawan!

Namun. Mendekati hari H perjalanan ini, rencana berubah, aku dan kelompok kecilku harus ke Puncak G. Slamet melalui jalur Guci Tegal dan turnnya yang tadinya semua kelompok turun lewat bambangan Purbalingga, kini dirubah menjadi lewat Guci, jadi naik turun aku melalui guci tanpa sedikitpun menginjak tanah kelahiranku. pagi menjadi gelap, siang dan soren sangat gerah dan panas, malam tak terasa hidup, aku ngambek seperti anak TK yang meminta dibelikan es krim seribuan pada Ibunya namun apa daya sang Ibu tak punya uang, maka es krim itu habis oleh teman-teman ku yang lebih disayang pada dunia karena dunia mentakdirkannya menjadi manusia tanpa larangan dan tanpa kekurangan.

"Aku cemburu mengingat kamu dipeluknya", aku kecewa Ost Voo.
Dan realitas hidup akibat semua ingin lewat bambangan maka harapanku pada Ibuku bahwa aku menginginkan itu, pudar semua, aku tak tahu harus bilang apa-apa, semua menertawaiku dengan tak melihat perasaanku, kareana pada saat yang sama aku sedang memimpikan impian, aku ingin les Bahas Inggris, aku ingin ngekos dan aku ingin membeli Hardisk baru karena rusak belum lama ini, dari mana aku mendapatkan duit sebanyak ini untuk biaya semuanya. dan kecemburuan ku tak hanya ini, sayangnya berat untuk diceritakan.

Namun aku yakin yang dikatakan Arai pada Ikal dalam Novel sang pemimpi bahwa " kita tidak boleh mendahului nasib" adalah suatu realistis dan penuh dengan kekuatan religius, dan mungkin manusia harus lebih sabar kepada manusia yang lain.

No comments:

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...