Friday, January 9, 2009

Kebahagiaan yang relatif

Ternyata… dari apa yang saya lihat dari kehidupan saya dan orang lain, semua sama saja jika harus bertanya apakah mereka hebat? Mereka bodoh? dan Mereka bahagia?. Mereka yang kaya raya mungkin bisa merasakan nikmat belanja dan makan seenak-enaknya, namun saat ia harus ke luar dan bertemu dunia yang nyata dari keadaan alam dan perilaku seseorang yang berbeda, kebanyakan dari mereka merasa khawatir dan tak bisa merasakan keindahan alam dan budaya manusia. Khawatir takut dirampok atau dibunuh sehingga gerakan hidup mereka menjadi terbatas, akhirnya ada beberapa atau banyak tempat yang dianggap membawa petaka hidup.

Di sisi lain, ada orang miskin atau bahkan sangat miskin yang merasa selalu bahagia. Mereka bisa menikmati hidupnya tanpa harus dikejar-kejar waktu, bisa merasakan keindahan alam dan dapat bergaul dengan siapa saja dan dimana saja. Kelihatannya memang mereka bodoh, namun karena pengetahun mereka yang tidak terlalu banyak tentang globalisasi, akhirnya ia bisa santai dan senyum dengan iklhas.

Saat saya pergi ke Tegal pada tahun baru ini, ternyata keadaannya sama saja seperti di Jakarta. Banyak sekali anak muda dengan kendaraan bermotor atau jalan kaki menuju tempat keramaian seperti di alun-alun, ada yang teriak-teriak sambil buka baju di atas motor dan ada yang jalan-jalan saja dengan teman kencannya..

Tapi tidak sedikit pula yang diam dirumah tanpa peduli dengan tahun baru, sebagian dari mereka mengatakan “apa sih yang mereka (orang yang mereyakan tahun baru di kota-kota) cari?”. Apa sih yang mereka cari, adalah sebuah pertanyaan yang menjelaskan tentang keinginan.. setelah ku pikir-pikir benar juga ya, apa yang dicari dari kesenangan itu.. jika orang menganggap hal seperti itu adalah sia-sia maka tak dapat merasa senang di tempat seperti itu atau yang lebih indah dari tempat itu…

Saya senang ke gunung, ketika merasa sangat lelah saya akan merasakan sangat nikmat apalagi ketika sampai puncak, batin saya sangat lega. Saya tidak peduli dengan orang yang hidup di kota atau di perkampungan, apalagi dengan orang-orang pandai bersilat lidah namun tak sesuai dengan kenyataan. Tapi saat di Tegal kemarin, saat saya sedang duduk sambil memandang kolam renang yang akan saya jadikan tempat refresing, saya melihat anak kecil sekitar 3 tahun jatuh saat berjalan dengan kedua orang tuannya. Saat saya berbincang-bincang dengan sang ayah itu yang bernama mas Bangun, ada beberapa kata yang membuat saya menunduk dan merenung. Ia bilang ia juga senang jalan saat masih muda, dari tidur di jalanan sampai naik gunung, namun ia merasa kesulitan yang dirasakan saat masih muda itu hanya untuk sebuah kesenangan dan kebebasan.

Sampai akhirnya ia bilang “sesulitnya saat itu hanya untuk kesenangan, sedangkan kehidupan sebenarnya tidak semua orang bisa merasakan kesenangan terutama dari kehidupan keluarga, tantangan kehidupan nyata dalam rumah tangga jelas lebih sulit dari kesulitan mendaki puncak gunung dan tidak semua orang bisa berhasil menjalankan kehidupan yang nyata ini”

Kata-kata ini sangat mengguncang perasaan dan otak saya, cerita saya kepada mas Bangun tentang pengalaman bertualang selama ini sungguh memalukan. Memalukan karena saya belum merasakan hidup yang nyata, yang banyak mendapat kesulitan sesungguhnya. Terlebih saat ia menceritakan pengalamannya saat di Papua dan Aceh sebagai utusan untuk menyiarkan agama Islam di tempat-tempat terpencil. Bapak yang juga seorang guru ekonomi ini, kini mempunyai 2 anak yang lucu dan sopan. Setidaknya dia memberi hikmah dari rumahnya yang terpencil nan jauh di Slawi sana, hikmah antara kebebasan dan kebahagiaan sesungguhnya.

No comments:

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...