Monday, August 12, 2013

Pilih ayam atau manusia?

Beberapa pekan yang lalu saya tersentak mendengarkan cerawah tarawih di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng Jakarta. Entah siapa pembicara khutbah tarawih itu, namun wajahnya dan kata-katanya begitu membekas karena ada selipan cerita yang membuat saya terengah-engah.

“Bila di suatu Negara tersedia 200 juta ayam dan hanya 100 manusia, kira-kira Negara tersebut makmur atau tidak?” kalimat itu diucapkan dengan lantang kepada jamaah solat tarawih yang salah satunya adalah saya sendiri. Saya dalam hati pun menjawab “pasti makmurlah, wong ayamnya banyak banget.. bisa di ekspor malah, jadi devisa Negara sangat besar”.

Dengan sangat yakin sayapun menyimpulkan pasti semua jamaah menjawab pasti maju Negara tersebut. Lalu si pemberi khutbah melanjutkan pertanyaan “bila saya balik pertanyaannya, yaitu bila di suatu Negara tersedia 200 juta penduduk dan hanya tersedia 100 ayam, maka apakah Negara tersebut makmur?”. Nah loh, pertanyaan ini membingungkan, pasti menjebak… saya pikir dalam hati bicara “ya enggak makmurlah, kebanyakan orang jadi ribet.. Seperti Negara ini orangnya banyak banget, serakah jadi gak makmur-makmur, apalagi menjadi Negara maju”.

Si penceramah yang terlihat sangat energik itu terus bertanya-tanya ke jamaah, lalu mungkin ada salah satu jamaah atau lebih yang menjawab Negara tidak maju karena manusia teralalu banyak dan ayam terlalu dikit, bagaimana bisa ekspor ayam wong buat sendiri aja gak cukup.

Lalu si penceramah langsung geleng-geleng kepala dan berkata “tuh… kan.. ini nih.. kita selalu meremehkan sumberdaya manusia, padahal manusia saat ini telah terbukti bisa menciptakan teknologi begitu berkembang, yang membangun gedung-gedung tinggi, membuat pesawat dll..”. Saya terus diam dan berfikir, lalu si penceramah bilang lagi “manusia itu mahluk sempurna, kecerdasannya tidak terbatas dan bisa melakukan apa saja, bahkan malaikat saja diminta bersujud pada Manusia oleh Tuhan… masa manusianya banyak malah Negara tidak bisa maju?.”

Saya geleng-geleng kepala, benar juga kata penceramah itu. Masa harga manusia mau disamakan dengan ayam, kita sebagai manusia itu sudah cukup berharga dan bernilai tinggi. Saya teringat lagi seorang bijak bercerita tentang bunga mawar, katanya “Kita tidak akan bisa melihat indahnya bunga mawar kalau yang kita lihat adalah durinya… sering kali dalam suatu hal kita hanya melihat sulitnya, tidak melihat indahnya.. padahal dalam kesulitan ada kemudahan atau kebaikan. Dan Khalifah Umar berkata  ‘setiap kesulitan itu nilainya satu, dan kebaikan atau kemudahan nilainya 2, oleh karena itu kebaikan pasti akan menang’… maka optimislah.. optimislah menjalani hidup ini.”

Optimisme, mungkin sebuah hal yang sudah lama saya lupakan… dengan cerita tersebut mudah-mudahan rasa optimis muncul di diri kita yang sedang berjuang melakukan dan mengejar hal-hal yang baik di hidup ini… Amiiiinnn….

No comments:

Melihat mereka (anak) pertama sekolah

Satu hal yang tidak terbayangkan, air mata tiba-tiba menetes ketika pertama kali mengantar anak sekolah. Raia, anak kedua yang kini berusia ...